DENPASAR, lintasbali.com – Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, ada tradisi unik dalam memperlakukan ari-ari bayi.
Di desa ini, ari-ari bayi baru lahir tidak ditanam di pekarangan rumah, melainkan digantung di sebuah kuburan khusus yang oleh warga setempat disebut setra (kuburan) ari-ari.
Terpegang teguh sebuah tradisi yang berusia ribuan tahun di desa Bayung Gede Kintamani, Bangli tradisi itupun terkait dengan upacara yadnya ( ritual kelahiran, perkawinan, hingga prosesi kematian) Di desa Bayung Gede Kintamani, yang namanya ari-ari/plasenta bayi tidaklah dikubur namun digantung pada sebuah pohon, pohonnyapun terbilang langka.
Pohon tempat menggantung ari-ari itu disebut pohon kayu bungkak, pohon itu terpelihara dengan baik di setra/kuburan ari-ari di desa Bayung Gede.
Ari-ari bayi hanya boleh dibawa ke setra/kuburan kala subuh atau kala mentari telah terbenam, sangat pantang untuk memnbawa ari-ari saat mentari masih bersinar.
Ari-ari sebelum di bawa ke setra/kuburan ari-ari dicuci bersih sebersih-bersihnya, lalu dimasukkan ke batok kelapa serta diikat dengan tali khusus yang disebut salang tabu.
Oleh sang ayah, ari-ari kala di bawa ke kuburan mesti di bawa/diangkat dengan tangan kiri, sementara tangan kanan membawa sabit/arit.
Dengan sabit itulah cabang pohon kayu bungkak di potong , sebagai tempat gantungan batok kelapa yang berisi ari-ari / plasenta.
Kuburan ari-ari terletak di selatan desa dan dikelilingi jalan melingkar yang bisa dilalui kendaraan bermotor.
Luasnya sekitar 60 are. Kuburan ini berupa sebuah hutan kecil yang ditumbuhi berbagai pepohonan, terutama pohon bungkak.
Pohon bungkak itu diduga memiliki fungsi yang sama dengan pohon taru menyan di Desa Trunyan, yakni menyerap bau.
Itu sebabnya, meskipun di kuburan ini ada banyak ari-ari yang digantung dan sudah berusia lama, sama sekali tak tercium bau tidak sedap. (AR)