DENPASAR, lintasbali.com – Kedatangan empat orang warga yang mewakili 32 orang warga yang berasal dari Desa Tangkas, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung mendatangi DPRD Bali prihal tanah yang menjadi hak milik masih disengketakan oleh Kejaksaan.
“Pasalnya luas tanah yang kini jadi sengketa tersebut luasnya sekitar 7 hektar lebih yang berlokasi di Subak Pengucang di Desa Tangkas, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung,” kata Kuasa Hukum para pemilik lahan Nyoman Sumantara, SH, Rabu (8/12) di DPRD Bali.
Sebelum tanah tersebut disengketakan oleh Kejaksaan, Sumantara mencerita awal kejadian yakni sebnyak 32 warga yang memiliki lahan tersebut menyampaikan pada awal 2006 sempat di datangi pembeli tanah yang bernama Wayan Widiarta.
Saat itu, tanah yang akan di jual oleh warga yang berjumlah 32 orang warga ini untuk per arenya di jual dengan hargai Rp 8 Juta.
“Nah kenapa harganya bisa dikatakan cukup murah saat itu. Karena tanah tersebut berlokasi di Galian C,” terangnya.
Lanjutnya, keinginan para pemilik tanah yang ingin menjual tanah dengan segera, maka para warga yang berjumlah 32 orang warga ini bersepakat untuk menunjuk seorang notaris.
Lantas ditunjuklah notaris Ida Ayu Kalpikawati oleh para warga sebagai prantara proses jual beli, sekaligus langsung sebagai saksi,” sesuai apa yang dikatakan Sumantara selaku Kuasa Hukum saat melaksnaakan jumpa pers.
Sumantara juga mengatakan pada saat proses jual beli yang sudah disaksikan langsung oleh notaris. Dimana dari pihak pembeli yakni Wayan Widiarta saat itu hanya sebatas memberikan uang mukanya saja (DP).
Dari pengakuan warga saat itu, DP yang diberika hanya dua kali yakni pada tahun 2006 untuk DP pertama dan tahun 2009 untuk DP kedua.
Selanjutnya pemberian DP saat itu menurut penyampain dari warga pemilik tanah beragam. Ada yang mendapatkan 10%, ada 20%, dan bahkan ada yang dapat sampai 50%.
“Walau sudah dapat DP, namun belum bisa dikatakan lunas. Itu DP yang diberikan oleh pembeli baru setengahnya saja,” ucapnya sesuai yang dikatakan oleh para klienya.
Sembari menyampaikan, kalau hanya sebatas diberikan DP. Itu belum bisa dikatakan langsung sudah menjadi hak milik, kalau sepenuhnya belum ada pelunasan.
Sudah begitu lama berjalan, dan pembelinya hanya sebatas memberikan DP saja. Hingga akhirnya si pembeli tidak pernah muncul lagi.
“Maka tanah tersebut oleh warga dianggap masih tetap menjadi hak milik warga, sebab di balik transaksi jual beli belum ada terjadi pelunasan,” jelas Sumantara.
Ditambahkan, setelah kejadian tersebut. Dimana dari pihak pembeli tidak kunjung datang untuk melunasi sisa pembelian tanah seluas 7 hektar yang berlokasi di Subak Pengucang di Desa Tangkas, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung yakni lokasinya berada di Galian C.
Tiba-tiba dari Kejaksaan Klungkung mendatangi notaris Ida Ayu Kalpikawati untuk menanyakan prihal tanah tersebut. Selanjutnya Kejaksaan pun mendatangi para warga pemilik tanah yang kemudian menanyakan siapa yang sudah membeli tanah warga. Apakah Candra mantan Bupati Klungkung. Jawab warga bukan Candra melainkan Wayan Widiarta.
Pada saat itu kebetulan juga mantan Bupati Klungkung Candra terjerat kasus. Jadi kejaksaan selalu mengait-ngaikan Candra. Padahal yang membeli tanah warga bukan Candra.
Entah kenapa tiba-tiba dari Kejaksaan langsung membuat BAP, dan semua berkas dokumen hasil transaksi jual beli yang ada di notaris Ida Ayu Kapilkawati langsung diambil oleh Kejaksaan.
“Dimana berkas dokumen yang sempat diserahkan warga ke notaris yakni SPPT, SKIPD, dan KTP yang semuanya itu bagian dari pemenuhan dari pada penyusunan sertifikat,” tambahnya.
Selanjutnya Sumantara selaku Kuasa Hukum juga mengatakan sesuai apa yang dikatakan oleh para warga pemilik tanah. Pada saat itu dari Kejaksaan hanya sebatas meminjam berkas dokumen saja.
Namun anehnya berkas dokumen yang di pinjam Kejaksaan justru sekarang berkas tersebut masuk dalam Kasasi. Bahkan dari Kejaksaan mengatakan kalau tanah yang masih dikatakan jadi sengketa sekarang sudah menjadi tanah milik negara.
Itu kan aneh saja menurut saya. Kok bisa tanah masih sengketa jadi tanah milik negara. Ini sama dengan membunuh rakyat kecil pelan-pelan.
“Selanjutnya kedatangan warga ke DPRD Bali hanya sebatas meminta keadilan, dan memperjuangkan apa yang masih menjadi haknya yakni meminta ganti rugi kekurangan yang belum dilunasi oleh si pembeli,” pungkasnya. (Tim)