News

Sengketa Tanah Ubung, Perang Data dan Koneksi Makin Memanas

DENPASAR, lintasbali.com – Perseteruan adu data dan koneksi dalam sengketa kepemilikan tanah antar dua pihak seluas 32 are di sudut timur perempatan Jalan Cokroaminoto Ubung Denpasar terus bergulir.

Perang kepemilikan lahan yang sangat strategis dan memiliki nilai jual lebih dari satu miliar rupiah per are ini semakin panas dibalik salah satu pihak yakni I Made Sutrisna menjadi terdakwa tindak pidana ringan (Tipiring) atas penguasaan lahan tanpa izin di atas tanah diakui sudah ia dibeli sebelumnya dari Jhony Leopato.

Pihak Made Sutrisna Tuding PT. BBSA Diduga Beli Tanah Berkasus

Advokat Made Sulendra, S.H selaku kuasa hukum dari Made Sutrisna menyebut PT. Bangun Bali Sejahtera Abadi (BBSA) diduga telah membeli tanah masih berkasus di atas obyek tanah milik kliennya di Perempatan Jalan Cokroaminoto Ubung Denpasar Bali.

Pasalnya menurut Made Sulendra secara logika hukum, obyek tanah di perempatan Jalan Cokroaminoto Ubung terdapat dua plang masih bersengketa kepemilikan dan juga ada upaya hukum dari kliennya namun tetap dibeli sebelum pihak PT.BBSA melaporkan I Made Sutrisna ke Polresta Denpasar.

“Apa mungkin seseorang membeli tanah tidak melakukan pengecekan lokasi. Kan tidak ! Apa tidak dilihat di sana ada dua plang masih sengketa kepemilikan. Apakah penjual itu pernah bayar pajak sebelumnya? ini kan perlu dipertanyakan. Makanya patut diduga pihak PT itu membeli tanah masih berkasus. Dan ini juga harus didalami,” tegas Made Sulendra kepada wartawan, Jumat (23/03/2022)

SHGB 102 Dari Fotokopi Sertifikat Sementara 129

Made Sulendra juga menyebut, dalam penerbitan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) 102 atas nama PT. BBSA terkesan dipaksakan. Dimana asal SHGB itu ia sebut hanya dari fotokopi sertifikat 129 sudah cacat hukum di dalamnya ada tindakan pidana namun disinyalir dihidupkan kembali menjadi sertifikat 05949 atas nama almarhum I Gusti Ngurah Made Mangget yang diterbitkan tahun 2017.

Setelah itu dikatakan, diwariskan kepada ahli waris lalu dijual dan diturunkan haknya dalam waktu singkat menjadi SHGB 102 atas nama PT. BBSA. Dimana SHGB 102 ini disinyalir telah menumpuk sebidang tanah SHM 3395 yang terbit tahun 1998 milik Made Sutrisna seluas 32 are yang dibeli dari Jhony Leopato dkk.

“Almarhum I Gusti Ngurah Made Mangget kan sudah meninggal. Masak orang sudah meninggal bisa mohon buat sertifikat. Apalagi putusan 370 K/TUN/1999 Mahkamah Agung (MA) tidak ada menyatakan atau memerintahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan sertifikat baru dari sertifikat sementara 129 atas nama seseorang,” singgungnya

Direktur Perdata dan Ketua Pengadilan Negeri Multi Tafsir

Perlu digaris bawahi lanjut kata Made Sulendra dalam kasus ini beredar informasi terdapat surat keterangan dari Direktur Perdata MA No.122/TU/73/C/2001/SK Pred tanggal 6 maret 2001 prihal penjelasan penetapan pidana No 99/Sip/1967 terkait keberadaan sertifikat sementara 129.

BACA JUGA:  Berikut 10 Kabupaten/Kota Terdampak Banjir di Kalimantan Selatan

Begitu juga surat Ketua Pengadilan Negeri No.W.16 DDP HT 04 10-2972 tanggal 24 September 2001 prihal penjelasan/klarifikasi penetapan pidana No 44 Pnd Ek/1966 jo No 27/1966 PT Pdn jo No 99 K/Sip/1967 disebut-sebut penetapan pidana dari pengadilan itu diduga palsu.

Dimana penetapan pidana dari pengadilan diduga palsu ini terkait keberadaan almarhum I Gusti Ngurah Made Mangget disebutkan sebelumnya terbukti bersalah melakukan kejahatan memalsukan surat- surat dan menggunakan surat-surat palsu yang berisi tanda tangan almarhum I Gusti Alit Deli sehingga dijatuhi hukuman penjara selama 8 tahun. Sehingga secara tidak langsung sertifikat sementara 129 tersebut menjadi tidak sah batal dengan sendirinya dengan segala akibat hukumnya.

Namun belakangan kata Made Sulendra adanya keterangan dari Direktur Perdata dan Ketua Pengadilan tahun 2001 yang multi tafsir terkait penetapan pidana tersebut berusaha dikaburkan untuk menghidupkan kembali sertifikat sementara 129 yang sudah cacat hukum.

“Pernyataan itu kan masih sifatnya multi tafsir kan baru sebatas dugaan dan perlu dibuktikan. Kami mohon nanti Direktur Perdata dan Kepala Pengadilan untuk dapat memberi penjelasan di persidangan. Bisa saja berkasnya belum ditemukan atau salah ketik satu huruf saja pengertiannya berbeda. Tapi jejak pidana itu tidak mungkin tidak ada catatan. Faktanya di tahun 1997 berkas penetapan pidana dari pengadilan itu dihadirkan dalam persidangan yang ditandatangani panitera PN Denpasar periode 1996-1999 sebagai alat bukti,” tegas Sulendra.

Ganti Rugi Pembebasan Jalan Gatot Subroto

Sisi lain Made Sulendra juga menegaskan, tidak saja sertifikat sementara 129 ini menjadi SHGB 102 dipakai untuk menumpuk sertifikat 3395 milik kliennya namun dibalik itu juga diungkapkan, pada tahun 1983 sertifikat sementara 129 juga digunakan untuk mendapatkan ganti rugi atas pembebasan lahan buat jalan Gatot Subroto (Ayani – Cokroaminoto).

“Cek saja di Biro Aset Provinsi dan Bina Marga. Artinya sertifikat sementara 129 tersebut sudah ditarik untuk dipecah. Secara otomatis sertifikat sementara 129 sudah tidak berlaku lagi namun kembali dipakai ngamen. Dan pada tahun 2017 diterbitkan SHM 05949 dasarnya dari fotokopi sertifikat sementara 129 sudah cacat hukum dan aslinya mungkin sudah musnah dan sertifikat baru terbit itu dipakai menumpuk bidang objek tanah SHM 3395 terbit tahun 1998 yang dimiliki klien kami,” tegas pengacara Made Sulendra.

PT. BBSA Bantah Beli Tanah Berkasus

Sementara Made Parwata, S.H selaku kuasa hukum dari PT. BBSA membantah bahwa kliennya diduga membeli tanah berkasus. Ia mengatakan saat pembelian tanah tersebut sudah dilakukan pengecekan melalui notaris dan dinyatakan tidak ada masalah dari BPN.

BACA JUGA:  Perbaikan Tiga Jembatan Dalam TMMD Memperlancar Perekonomian Masyarakat

“Pada waktu transaksi jual beli dari pihak PT melalui notaris sudah melakukan pengecekan, BPN sudah menyatakan clear. Dengan pernyataan clear akhirnya terjadi transaksi jual beli. Sehingga perubahan bukti kepemilikan dari sertifikat 05949 menjadi HGB 102. Kalau tidak clear, tidak mungkin muncul HGB 102,” ungkap Made Parwata.

Disinggung asal sertifikat 05949 adalah dari sertifikat sementara 129 yang disinyalir sudah mendapatkan gati rugi terkait pembebasan jalan Gatot Subroto, ia menegaskan bahwa kliennya membeli tanah sesuai dengan prosedur dengan menggunakan pejabat negara yaitu notaris dan tentunya sudah ditelusuri sebelumnya.

“Yang saya dalami adalah sesuai dengan keberadaan klien saya, bahwa klien saya membeli tanah seluas 32 are yang batas-batasnya juga jelas. Dan klien saya membeli sesuai dengan prosedur dengan menggunakan pejabat negara yaitu notaris yang memiliki kewenangan menelusuri tentang hal transaksi jual beli. Klien saya membeli tanah bukan perkara. Ia membeli tanah dari Gusti Astika,” tegas Made Parwata.

Upaya Hukum Made Sutrisna Sampai PK Ditolak

Satu sisi Made Parwata juga menjelaskan, bahwa Made Sutrisna pernah mengajukan upaya hukum baik secara TUN (Tata Usaha Negara) maupun secara perdata. Secara TUN menggunakan dengan dalih bahwa Made Sutrisna ini sudah mengaku membeli dengan putusan jual beli pengadilan Singaraja.

“Berdasarkan putusan itu dan dokumen yang pernah dipergunakan oleh Jony Leopato dipakai untuk mengajukan gugatan TUN oleh Made Sutrisna tetapi gugatan tersebut tidak diterima,” bebernya.

Setelah dinyatakan tidak diterima, lanjut kata Made Parwata menjelaskan bahwa Made Sutrisna juga melakukan upaya hukum mengajukan PK dan PK itu juga dinyatakan ditolak. “Made Sutrisna juga pernah mengajukan upaya hukum secara keperdataan, yang melibatkan juga subyek ahli warisnya I Gusti Made Mangget. Itu juga sudah dinyatakan putus secara inkrah sampai ke Mahkamah Agung,” sambungnya.

Menggunakan Fotokopi Sertifikat 129 Itu Tidak Benar

Untuk diketahui sebelumnya, melalui A.A. Ngurah Bagus Jayendra, S.H selaku perwakilan keluarga dari I Gusti Ngurah Astika yang merupakan anak almarhum I Gusti Ngurah Made Mangget selaku penjual objek kepada PT. BBSA saat ditemui wartawan menegaskan akan selentingan mempergunakan fotokopi sertifikat sementara 129 dibantah pihaknya.

“Sertifikat fotokopi yang digunakan sudah jelas tidak benar. Semuanya ada aslinya. Yang disebelahnya kan masih ada aslinya. Yang di pompa itu ada. Sertifikat asli 129 tentu aslinya diserahkan ke BPN karena sudah turun waris. Otomatis yang awal atas nama alm I Gusti Ngurah Made Mangget sudah diserahkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN),” pungkas Bagus Jayendra.

BACA JUGA:  Ala Ayuning Dewasa Jumat 24 September 2021, Baik untuk Upacara Bhuta Yadnya

Kasus Lama Jual Perkara

Ditemui wartawan I Gusti Ngurah Astika didampingi Anaknya I Gusti Ngurah Sanjaya selaku ahli waris dari almarhum I Gusti Made Mangget yang menjual tanahnya kepada PT. BBSA mengatakan kasusnya sudah lama.

Ia mengungkap dari awal pihaknya bermasalah dengan Jhony Leopato namun belakangan muncul nama Made Sutrisna dikabarkan sudah membeli obyeknya. Selanjutnya pihaknya pun menyerahkan sepenuhnya kepada pihak pembeli dan terus berproses dalam istilah jual perkara.

“Jual perkara awalnya saya dulu. Biar tidak banyak keluar uang dimana saya cari uang. Yang beli itu ngurus kasusnya. Ketika mentok lagi saya turun membantu. Ada perjanjian kalau menang dengan harga sekian, tapi kalau kalah uangnya hilang. Jadi saya tidak keluar uang,” ucap I Gusti Ngurah Sanjaya ditimpali I Gusti Ngurah Astika.

Merasa Dizalimi Negara dan Dikriminalisasi

Dihubungi terpisah pasca ditetapkan sebagai terdakwa tindak pidana ringan (Tipiring) I Made Sutrisna mengaku dizalimi negara dan mengalami dugaan kriminalisasi hukum dalam sengketa kepemilikan tanah di Ubung Denpasar Bali.

“Saya merasa dizalimi negara sendiri dan dikriminalisasi. Pajak kepada negara saja dulu saya bayar sampai Rp 903 juta lebih dari tahun 1995 – 2014. Bagaimana saya punya tanah dari membeli dan sudah di cek BPN (Badan Pertanahan ) secara berjenjang dan dinyatakan valid namun lagi dibuatkan sertifikat baru. Saya juga tidak tahu sekarang malah dijadikan terdakwa dibilang menguasai lahan tanpa izin di atas tanah saya beli dan sudah dinyatakan sah oleh negara sebelumnya,” keluh Made Sutrisna kepada wartawan.

Lanjut kata Made Sutrisna menjelaskan, bagaimana sekarang lokasi tanahnya sudah diisi garis polisi. Bahkan mobil truk yang ia taruh di lokasi juga dikatakan raib alias hilang. “Saya tidak tahu negara ini sudah merdeka tapi kami sebagai rakyat kecil tidak merasakan keadilan malah merasa dijajah negara sendiri,” singgungnya.

Ia mengatakan dibalik pihaknya jadi terdakwa mengaku jauh sebelumnya sudah pernah melapor kepada polisi akan keadaan tanahnya dipagari seng oleh pihak lain. Namun pelaporan itu malah dikatakan tidak ada kejelasan selama lima tahun dan dihentikan penyidikannya.

Begitu ada pelaporan balik dari pihak lawan, ia sebut-sebut malah penyidik tancap gas dan langsung menjadikan pihaknya tersangka dan nasib tanahnya pun di pasang garis polisi seolah ada peristiwa kejahatan pidana.

“Dari awal saya melapor anggota penyidiknya sama. Saat di SP3 laporan saya juga bertanggung jawab penyidik sama. Begitu juga sekarang jadikan saya tersangka juga penyidik itu di tanah milik yang saya beli. Saya merasa hak-hak saya dirampas,” ungkap Made Sutrisna. (LB)

Post ADS 1