DENPASAR, lintasbali.com – Pasca penutupan jalan di kawasan Kampung Bugis Serangan, Denpasar Selatan oleh Ipung pada 9 Maret 2022, pihak Pemkot Denpasar kemudian melakukan kajian.
Setelah itu pada tanggal 19 Maret 2022 terjadi pertemuan di Kantor Lurah Serangan. Disana Pemkot mengajak tim lawyers, Lurah, Camat dan beberapa tokoh yang sebagai tim pelaksana tanah itu di hotmix (aspal).
Dalam pertemuan tersebut Dinas PUPR dan Kabid Bina Marga, Dirgayasa menjelaskan bahwa tanah itu tidak ada di SK, tapi adalah pengajuan permintaan proposal dari warga Serangan.
“Nah, pertanyaan saya begini, kalau itu pengajuan proposal dari warga, kenapa Pemkot tidak menelusuri dulu tanah itu? Apakah benar tanah itu milik PT BTID atau tanah warga atau tanah hak milik.
Saya tidak ingin menggurui disini sama Pemkot,” kata Ipung.
Ia mengaku sekarang bicara keras karena disana sudah tidak ditemukan surat pernyataan satu lembar pun yang menyatakan ada hibah atau ada penyerahan dari keluarga besar Daeng Abdul Kadir atau ahli warisnya.
“Itu satu, tidak ditemukan. Yang kedua, tahun 2014 dikatakan sama Pemkot atau 2016 dikatakan, mengeluarkan berita acara dari penyerahan BTID bersama Desa Adat Serangan yaitu diwakili oleh Jero Bendesa,” ujarnya.
Di mulai tahun 2009 lanjutnya, tanah miliknya digugat oleh 36 KK yang menempati tanah tersebut secara ilegal , dan akhirnya menjadi tanah “sengketa”.
“Tahun 2009 lo ini, inget lo bapak-bapak yang terhormat di Pemkot, 2009 dengan dasar gugatannya mengatakan adalah wakaf dari Cokorda Pemecutan,” bebernya.
Tanah yang mana yang dimaksud, yaitu tanah 1 hektare 12 are yang berdasarkan Pipil No.2 persil no.15A yang berada di sebelah timur Jalan Tukad Bulan.
Di sana dengan jelas mengatakan bahwa berdasarkan akta jula beli No 28/57 tanah itu sudah diperjual belikan oleh Sikin, ahli waris H Abdul Rahman yang merupakan Kepala Desa Serangan zaman dulu, dan dijual kepada Daeng Abdul Kadir yang merupakan Kelian Dinas Banjar Kampung Bugis bada tahun 1957 dengan harga Rp4.500,-.
Dengan batas-batasnya yaitu sebelah barat jalan, sebelah utara jalan, sebelah timur laut, sebelah selatan tegal Muhammad Thaib.
Itulah akhirnya digugat oleh Cokorda Pemecutan tahun 2009. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri tahun 1974-1975 yang sudah menetapkan bahwa tanah itu diperjualbelikan oleh pemilik sah nya yaitu H Abdul Rahman melalui ahli warisnya Sikin, makanya semua gugatan dari 36 KK tidak ada yang dimenangkan satu pun.
“Saya punya 15 putusan, semuanya dimenangkan oleh keluarga besar Daeng Abdul Kadir yaitu Sarah, sebagai ahli warisnya yang lain,” beber Ipung.
Masuk akal tidak jika Pemkot tidak mengetahui kalau tanah itu lagi disengketakan di Pengadilan Negeri Denpasar. Karena, pada tanggal 27 Januari 2014 ada pertemuan untuk melakukan permohonan eksekusi yang pertama.
Disana ada Lurah Serangan, ada Camat Denpasar Selatan yaitu wakilnya atau bagian dari organisasi pemerintah Pemkot Denpasar yang di bawahnya.
Disana, dipertemukanlah Ipung dengan wakil dari 36 KK.
Termasuk disana ada Cokorda Pemecutan, Zaenal Tayeb, Suwandi, Arjaya dan Resmiyasa dari 3 partai yang saat itu jadi anggota dewan.
Saat itu, demi kemanusiaan Ipung membatalkan eksekusi pertama karena mereka membuat surat penyataan dan ingin membongkar sendiri bangunan selama 6 bulan kedepan. Jadi tidak perlu dieksekusi paksa dan dirinya mundur.
“Tentu laporan ini sudah msuk ke telinganya Pemkot, tanah ini masih dalam sengketa. Tentu tidak masuk akal jika bapak yang terhormat, bapak Dewa Rai (Pemkot Denpasar) mengatakan ada wartawan dari Jakarta bahwa tanah itu sudah dihibahkan oleh pemiliknya kepada PT BTID berdasarkan berita acara. Kok bisa berita acara lagi pak Dewa,” tanya Ipung.
Berita acara itu tanggal 2 Mei 2016, setelah melakukan rembuk dengan warga yaitu pada tanggal 27 April 2016. SK nya 2014, pertama. Yang kedua, bagaimana ceritanya Pak Dewa mengatakan bahwa itu ada proposal dari warga.
Mengatakan bahwa itu milik warga, beberapa tokoh dan ia bersedia meng-hotmix (aspal), sedangkan di dalam rapat 19 Maret 2022 itu sudah jelas dikatakan bahwa tanah ini tidak masuk di SK, tetapi permohonan warga untuk di hotmix.
“Kenapa bapak mempertahankan SK kalau di hotmix, bapak sudah pernah memberikan pernyataan bahkan kepada wartawan nasional dari Jakarta bahwa bapak mengatakan, pernah juga ada tanah yang diajukan oleh warga setempat yaitu tanah di Citra Land. Bapak Pemkot tidak mau meng-hotmix tanah itu, karena bapak tau bukan milik warga setempat yang sudah dihibahkan tetapi milik pengembang,” bebernya.
“La kok bisa, tanah saya, diajukan oleh warga, bapak Hotmix. Kenapa bapak tidak turun ke TKP. Itu yang kedua pertanyaan saya. Adakah dibenarkan seseorang, atau anggota siapapun dia, atau pemerintah, pada saat tanah itu menjadi sengketa, seenaknya orang itu mengatakan tanah itu miliknya. Padahal tanah sengketa lo pak statusnya tahun 2014,” ujarnya.
Ditambahkan, berdasarkan putusan rapat tanggal 19 Maret 2022, tidak ditemukan titik temu karena tidak ditemukan satu lembar pun pernyataan yang mengatakan itu tanah itu sudah diwakafkan atau dihibahkan oleh pemiliknya.
Akhirnya karena tidak ada kesimpulan, kemudian mengkaji lagi, melakukan pertemuan di Pemkot. Yang hadir instansi terkait ada Dinas Kehutanan, BPN, Kabag Hukum, eselon I, Camat, Lurah dan ada Jero Bandesa.
“Dan ada pengacara negara yang hadir di situ. Namun, bapak mengundang instansi terkait untuk rapat, tapi kok tidak ada yang membawa bahan, tidak mengundang desa adat yang punya ini bahan dalam hal ini di luar Jero Bandesa,” kata Ipung.
Akhirnya pertemuan itupun gagal total dan mentah lagi bahkan ada keinginan untuk merubah SK. Ipung kembali bertanya, sepertinya Pemkot tidak ingin menyelesaikan masalah ini karena tidak memanggil orang-orang yang sebenarya berkompeten. Tapi Pemkot mengatakan saya ‘Ipung Mengklaim’.
“Saya tidak mengklaim bapak, Bapak lah yang mengklaim tanah saya. BTID lah yang mengklaim tanah saya. Saya pemilik sah nya. Disana begitu orang mengatakan di SK, tanah saya tidak ada karena di dalam SK mengatakan jalan Tukad Punggawa I berdasarkan berita acara dari BTID kepada desa adat serangan pada tanggal 2 mei 2016 yang isinya yaitu, jalan lingkar,” jelasnya.
Titik pertamanya yaitu di jalan pintu masuk Serangan, di ujung jembatan melewati Pura Sakenan ke Utara. Setelah itu ke timur sampai di pojok lapangan, di patok kemudian ke utara sampai ke Banjar Ponjok sampai ke depan penngkaran penyu, yang panjangnya 2.115 KM. Itulah yang ada di SK.
Jalan melingkar yang diambil dari lautan yang di urug, yang berada di tepi Pulau Seragan. Yang panjangnya 2.115 Km yang bapak ibu katakan berdasarkan berita acara. Inilah yang berdasarkan berita acara itu, 2.115 Km. Berita acara tanggal 2 Mei 2016 dari BTID kepada Desa Adat Serangan yang digunakan sebagai jalan.
“Pak, tolong bapak jalan ke TKP. Lihat tanah saya berada dimana. Tanah saya berada di pemukiman warga yang dari tahun 1957 adalah daratan, tidak di tepi Pulau Serangan atau di pantai yang diurug oleh berdasarkan reklamasi PT BTID,” ungkapnya.
“Jelas di situ, tanah saya adalah daratan, yang sudah ada sejak tahun 1957 saya kuasai. Bagaimana ceritanya bapak mengatakan itu pemberian dari berita acara BTID kepada desa adat, sedangkan di berita acara tidak ada,” sebutnya.
Karena sudah jelas di dalam SK mengatakan, Jalan Tukad Punggawa I yang panjangnya 2.115 km yang dari pintu masuk Serangan sampai ke penangkaran penyu. Sedangkan tanah miliknya di luar itu. Ada di pemukiman warga setempat yang jalannya bernama Tukad Punggawa, bukan Tukad Punggawa I.
“SK nya Bapak tidak masuk tanah saya, jangan lagi ngomong SK. Yang kedua, bapak mengatakan di berita acara. Di berita acara juga tidak masuk, jangan lagi bicara berita acara. Terus sekarang bapak mau mengatakan apa lagi, mau merubah SK? Tidak mungkin bisa. Bapak tentu punya peta akupasi yang dikeluarkan PT BTID tahun 2018, yang dengan jelas mengatakan, melalui gambar peta tersebut, bahwa tanah saya tidak termasuk areal PT BTID. Bagaimana ceritanya bapak menerima tanah jika tanah itu tidak termasuk bagian dari kawasan PT BTID,” jelas Ipung.
Lalu instansi terkait. Dinas Kehutanan dengan jelas mengatakan, mengeluarkan surat pada tanggal 9 Maret 2022 bahwa tanah tersebut bukan bagian dari ex atau tanah kawasan PT BTID atau tanah ex kehutanan. Jelas disitu.
Dan juga BPN mengeluarkan surat, BPN menolak permohonan pemblokiran sertifikat yang diajukan oleh PT BTID karena dengan alasan bahwa BPN mempunyai data atau dokumen yang mengatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah milik Daeng Abdur Kadir yang sudah diperjual belikan pada tahun 1957 dan dikuasai oleh Daeng Abdul Kadir sampai sekarang.
“Tentu tidak masuk akal jika Pemkot tetap mengatakan berdasarkan SK. SK darimana, SK bodong iya!. Terus, tanah disana deadlock bapak minta SK nya dirubah. Dan ada lagi wacana dari salah satu orang yang hadir di situ, siapapun yang memiliki dokumen resmi, maka dialah pemilik sah tanah tersebut,” tuturnya.
“Nah, karena bapak malu mengakui kesalahan, maafkan juga ini karena bapak malu. Bapak malu keliru, bapak malu mengakui kesalahan, bapak malu memberikan keterangan kepada public bahwa itu tanah tidak ada di SK. Bapak meminta BTID melakukan pertemuan yang ketiga yaitu di Renon. Padahal rencananya pertemuan itu akan dilakukan di kelurahan serangan pada hari Rabu pada tanggal 20 April 2022 jam 9.30 WITA,” jelasnya.
Tetapi H-2 malam, pertemuan itu dirubah tempatnya yaitu di Warung Mina Renon.
Disana hadir Dinas Kehutanan, BPN Kota Denpasar, dari Pemkot yang hadir Toya, tim hukum PT BTID, Agung Buana. Ada juga yang hadir lagi GM securitynya bapak Sumantara, Kapolsek Densel dan ada Lurah, Camat dan Jero Bandesa dan 7 Kelian Banjar dan 7 Kelian Dinas dari Desa Adat Serangan.
Di sana, Sumanta memberi kesempatan kepada Desa Adat Serangan untuk memaparkan dokumen yang dimiliki. Intinya ingin mencari tau, katanya demi kepastian hukum. Di sana, melalui juru bicaranya Jero Bandesa, yaitu Bapak Kemu Antara memaparkan beberapa dokumen.
Dari Pipil No.2 persil no 15A yang luasnya 1,12 Ha sudah diperjual belikan oleh Sikin, ahli waris H Abdul Rahman yang dulu Kepala Desa Serangan dan dijual kepada Daeng Abdul Kadir dengan harga Rp.4.500,-, berdasarkan akta jual beli No 28/57 yang batasnya sudah jelas dikatakan.
Dan dikuatlah lagi oleh putusan pengadilan tahun 1974 dan 1975, dikuatkan lagi dengan putusan 2017 dan tahun 2018 dan putusan PK dari Mahkamah Agung tahun 2020. Bahwa tanah tersebut adalah milik Daeng Abdul Kadir.
Disana juga tercetus dari bahasa Bapak Kemu Antara mempertanyakan jika BTID mempunyai tanah tersebut, datanya dari mana, dasarnya dari mana. Sedangkan PT BTID masuk Pulau Serangan pada tahun 1996, namun tanah itu dikuasai warga Serangan dari tahun 1957.
“Darimana ceritanya orang yang baru masuk menguasai tanah, atau punya hak daripada tanah tersebut sedangkan tanahnya sudah didirikan bangunan sebelum eksekusi. Saat itu, bapak Kemu Antara juga menantang. Bapak punya apa? Ternyata PT BTID hanya memberikan gambar tanah ex eksekusi diberi gambar dengan warna kuning. Itulah tanahnya PT BTID,” terangnya.
“Sekarang saya tanyakan kepada PT BTID, atau Pemkot sekaligus disini. Dari tahun 2009 sampai tahun 2020 tanah itu menjadi tanah sengketa. Karena belum jelas siapa pemenangnya. Namun, pada tanggal 3 Januari 2017, saya berhasil melakukan eksekusi yang ke 3. Dan itu saya ratakan dengan tanah. Pemkot apakah saat itu lagi tidur? Atau buta? Atau tuli? Atau tidak bisa membaca koran atau melihat TV,” kata Ipung geram.
“Kok tidak tahu tanah itu di eksekusi oleh seorang Ipung. Kok anda diam saja, kok anda tidak protes tanahnya dieksekusi?
Baik BTID ataupun Pemkot, saya pertanyakan disini,” sambungnya.
Kemudian ketika Dewa Rai mengatakan itu jalan sudah dijadikan jalan tahun 2014, sangat tidak masuk akal. Karena disaat orang bersengketa, tanah itu dijadikan jalan.
“Kok bapak gak turun seperti di Citra Land. Di Citra Land bapak bisa turun kok, dan bapak tidak mau hotmix, kenapa malah tanah saya bapak Hotmix. Apakah karena saya orang pendatang, yang bukan beragama hindu, yang bukan orang Bali? Bapak jadi larikan ke sara. Oh itu kan bukan orang Bali. Kok enak pak. Ini negara hukum lo pak. Kita bicara hukum. Kalau bapak memang mengeluarkan pernyataan itu, buktikan pada saya kalau itu tanah BTID, buktikan sama saya,” ujarnya.
“Ingat bapak, di dalam pertemuan di Desa Serangan pada tanggal 19 Maret 2022, tercetus bahasa dari Dinas PUPR mengatakan bahwa itu tidak ada di SK, sedangkan tanah itu diajukan oleh warga melalui proposal dan di bawa ke Musrenbang. Bagaimana ceritanya tanah saya bapak jadikan alat untuk mengeluarkan dana anggaran negara atau APBD melalui musrenbang. Bapak tau nggak ini korupsi pak? Saya akan kejar siapapun yang terlibat di sini,” kata Ipung.
Ia mengaku tidak mengancam. Jika PT BTID atau Pemkot disini sebagai Pemerintah Kota Denpasar, dirinya akan mencari siapapun yang bertanggungjawab atas dana anggaran negara atau APBD yang dikeluarkan, yang mungkin miliaran, yang mungkin sebagian adalah untuk kompensasi tanah miliknya.
“Siapa yang menikmati, itu adalah korupsi bapak. Saya tidak mengancam bapak. Saya salahkan bapak bicara. ‘Kenapa saya tidak menggugat bapak?’ Kenapa saya harus menggugat bapak, sedangkan itu tanah saya. Lho saya yang punya tanah kok nyuruh saya menggugat bapak. Kok saya yang punya tanah kok menyuruh saya yang nyuratin bapak. Urusannya apa saya nyuratin bapak? Rekaman suara bapak ada di saya saat ini. Bapak tidak akan pernah bisa bantah statement bapak yang ada di wartawan media nasional,” tuturnya.
“Inget bapak itu. Kalau bapak mau mengakui kekeliruan bapak, kesalahan bapak, saya akan maafkan kok pak. Dan bayar tanah saya, bayar kompensasinya, dan ganti tanah saya. Kalau tidak, jangan pernah biarkan saya itu akan diam, dan jangan katakan saya akan diam, saya akan takut. Enggak pak, saya tantang bapak semua!,” tegasnya. (LB)