POLHUKAM

Diduga Langgar Perjanjian Akta Padol Desa Adat Buleleng Digugat Perbuatan Melawan Hukum

BULELENG, lintasbali.com – Akta Padol merupakan dokumen autentik. Yaitu akta jual beli yang sah, karena ditandai dan disaksikan oleh pejabat terkait. Akta jual beli ini menjadi perjanjian antara dua belah pihak yang sangat kuat. Perjanjian menurut KUHPerdata, adalah undang-undang bagi kedua belah pihak dan dapat.

Hal tersebut dalam sidang pemeriksaan ahli perdata dan kenotariatan, dalam sidang perkara gugatan yang diajukan Nyoman Dodi Irianto, menggugat Desa Adat Buleleng Banjar Peguyangan, di Pengadilan Negeri Singaraja, beberapa waktu lalu.

Ahli menegaskan, akta ini hanya bisa dibatalkan oleh kedua belah pihak. Jika dibatalkan sepihak dan melakukan merampasan hak terhadap akta yang dibuat secara sah tersebut, maka perbuatan tersebut disebut melawan hukum. ”Akta Padol ini, hanya bisa dibatalkan oleh kedua belah pihak,” tegas Ahli.

Penegakan tersebut, merupakan paparan ahli secara terbuka dan independen. Karena ahli tidak memimak pihak yang berperkara.

Sementara itu, dalam gugatan Nyoman Dodi Irianto mengungkapkan pada awalnya I Ketut Supardi (Almarhum) merupakan anak dari perkawinan Encik Saleh (almarhum) beragama Islam, asal Bugis, Sulawesi Selatan, yang menikah secara Islam dengan Ni Nyoman Masning.

Dari perkawinan tersebut memiliki satu orang anak bernama I Ketut Supardi (Almarhum) yang lahir di Lombok pada tahun 1935, dengan nama kecil, Encik Said dan berganti nama setelah remaja menjadi I Ketut Supardi. Dia tercatat meninggal dunia pada hari Selasa, 7 Desember 1965. Ketut Supardi meninggalkan harta warisan, sesuai dengan Acte Padol No : 87/1948 berupa, seboeah roemah tinjang delapan, tembok kitakan dan tanah pepadan karena dari tanah, beratap seng, terletak di atas tanah perkarangan pedesaan di Br. Pegoeajangan, dan jang berhak menduduki jabatan teroes.”

Menurut Acte Padol No: 87/1948 tersebut, harta warisan yang dibeli dari I Md. Natih Dalem kini diwarisi oleh I Pt. Gede, Dijoeal Lelap dengan wang : 1000,- ( Seriboe roepiah ) kertas, wang mana kepoenjaan iboe betoelnja ( Ni Nj. Masning) dan Bapak tirinja (I Made Natih), di hadapan Poenggawa Distrik Boeleleng I Nengah Patra, saksi-saksi Klian Mantja sdr. Pegoejangan I Made Tantra dan Perbekel Desa Padangkeling Pan Soka pada hari Kamis tanggal 8 Juli 1948. Sesuai Acte Padol No : 87/1948, Distrik Boeleleng, Negara Boeleleng.

BACA JUGA:  Usai Pilwali, Arya Wibawa Tetap Turun Serap Aspirasi Masyarakat Denpasar

Akta Padol yang disaksikan dan diresmikan oleh pejabat tersebut, tambah ahli, menjadi akta jual beli autentik. Sehingga perjanjian menjadi mengikat kedua belah pihak. Dimana jual beli itu di atas tanah pekarangan pedesaan dan menegaskan yang membeli terus menerus. Dengan demikian, walau bangunan runtuh dapat menempati tanahnya.

Kata yang ada terus dalam akta padol ini, sempatkan kepada ahli yang ditegaskan, bahwa menempati terus inilah yang juga mengikat. Dengan status resmi, jabatan terus berlanjut sampai keturunan-keturunannya, sesuai dengan hak keperdataan yang dapat disampaikan.

”Berarti menduduki. Tak ada batasan waktu, atau menunjuk pada sesuatu. Hal itulah yang menjadi mengikat akta padol ini. Biasanya akta padol, berlaku terhadap jual beli terhadap tanahnya juga,” ungkap ahli.

Sementara itu, kuasa hukum warga, I Komang Sutrisna, Wayan Surata dan Khismayana Wijanegara membeberkan, bahwa kasus ini dibawa ke pengadilan umum, karena murni adalah masalah perdata dan menggunakan hukum negara sebagai dasar mencari keadilan.

”Akta Padol ini, bukan berkaitan dengan kepemilikan desa adat. Namun, bagaimana krama desa yang menjual dulu, kemudian disaksikan oleh pihak adat, serta penguasaan tanah tersebut dapat terus berlanjut. Hal inilah yang diingkari dan melakukan penguasaan sepihak. Disinilah letak perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh desa adat. PTSL ini, jangan salah artikan sebagai satu yang mudah untuk menguasai tanah, namun harus tetap berproses berdasarkan hukum keperdataan yang ada,” papar Komang Sutrisna.

Sementara itu, Surata menambahkan Desa Adat Buleleng Banjar Peguyangan, kelurahan Astina, kecamatan Buleleng telah mengklaim tanah dan bangunan rumah milik Dodi Irianto yang di ambil dan dikuasai oleh Desa Adat hanya berdasarkan paum (rembug warga adat).

BACA JUGA:  Amankan Kunjungan Wapres RI, Kodam IX/Udayana Gelar Apel Pasukan

Berdasarkan kesepakatan tersebut Desa Adat telah berbuat hukum untuk mengambil alih dan menguasai tanah dan bangunan milik Dodi Irianto. Hasil paum tersebut seolah-olah sudah merupakan aturan hukum dan tidak mempertimbangkan hukum Nasional yang berlaku.

Ditambahkan Surata, klien kami Dodi Irianto telah turun temurun dan sudah lebih dari 80 tahun telah bertempat tinggal di obyek tersebut. Dengan demikian, Desa Adat melangkahi hukum Nasional, dengan tidak mempertimbangkan dasar jual beli, dibuktikan dengan Akta Padol yang sah secara undang – undang Nasional yang mengikat para pihak termasuk Desa Adat pun juga telah mengetahui adanya jual beli tersebut.

‘’Atas kesewenang-wenangan Desa Adat tersebut, kami menggugat melalui pengadilan Negeri Singaraja dengan nomor perkara 174/Pdt.G/2022/PN.Sgr yang agendanya sudah sampai pembuktian,’’ ungkap Surata.

Ditegaskan juga oleh Khismayana, mengajukan gugatan agar ini pembelajaran bagi Desa Adat untuk memahami serta berwenang terhadap Desa Adat yang harus tunduk pula terhadap hukum Negara atau Hukum Nasional yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mempertimbangkan keadilan kelima dari Pancasila yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kami berharap mempertimbangkan rasa keadilan serta mempertimbangkan hukum Nasional yang menerapkan penerapan hukum terhadap gugatan tersebut, untuk memperoleh putusan yang seadil-adilnya. nanti dapat dipakai sumber hukum jika di kemudian hari ada permasalahan yang sama dengan hak masyarakat klaim yang diklaim di Desa Adat terhadap hak milik pribadi masyarakat yang notabene adalah juga bagian dari masyarakat adat setempa,” tandas Khismayana.

Untuk diketahui dalam gugatan Nyoman Dodi Irianto mengungkapkan pada awalnya I Ketut Supardi (Almarhum) merupakan anak dari perkawinan Encik Saleh (almarhum) beragama Islam, asal Bugis, Sulawesi Selatan, yang menikah secara Islam dengan Ni Nyoman Masning.

BACA JUGA:  Nengah Setar Ungkap Pemain dalam Kasus Tanah 5,5 Hektar Miliknya

Dari perkawinan tersebut memiliki satu orang anak bernama I Ketut Supardi (Almarhum) yang lahir di Lombok pada tahun 1935, dengan nama kecil, Encik Said dan berganti nama setelah remaja menjadi I Ketut Supardi. Dia tercatat meninggal dunia pada hari Selasa, 7 Desember 1965. Ketut Supardi meninggalkan harta warisan, sesuai dengan Acte Padol No : 87/1948 berupa,’’seboeah roemah tinjang delapan, tembok kitakan dan tanah pepadan lantaran dari tanah, beratap seng, terletak di atas tanah perkarangan pedesaan di Br. Pegoeajangan, dan jang membeli berhak menempati teroes.’’

Menurut Acte Padol No: 87/1948 tersebut, harta warisan yang dibeli dari I Md. Natih Dalem kini diwarisi oleh I Pt. Gede, Dijoeal Lelap dengan wang : 1000,- ( Seriboe roepiah ) kertas, wang mana kepoenjaan iboe betoelnja ( Ni Nj. Masning) dan Bapak tirinja (I Made Natih), di hadapan Poenggawa Distrik Boeleleng I Nengah Patra, saksi-saksi Klian Mantja sdr. Pegoejangan I Made Tantra dan Perbekel Desa Padangkeling Pan Soka pada hari Kamis tanggal 8 Juli 1948. Sesuai Acte Padol No : 87/1948, Distrik Boeleleng, Negara Boeleleng.

Diketahui sebelumnya, seperti dikutip dari metrobali.com (Senin, 5/9/2022), penasihat hukum Desa Adat Buleleng, I Nyoman Sunarta, mengklaim tanah objek sengketa adalah milik kliennya yakni Desa Adat Buleleng lantaran menurutnya, penggugat hanya membeli bangunan sementara objek tanahnya tetap milik desa adat.

“Ini (obyek sengketa) tanah pekarangan Desa Adat Buleleng, sedangkan yang dipakai dalil penggugat berdasarkan akta jual-beli (padol). Dalam hal ini, penggugat membeli bangunannya, sedangkan tanahnya tetap merupakan tanah pekarangan Desa Adat Buleleng,” tandas Sunarta. (LB)

Post ADS 1