Bali adalah pulau dengan ukuran terbilang kecil. Luas wilayahnya hanya 5.636,66 km2, terdiri dari bentang alam pesisir, sawah, tegalan, danau, dan gunung. Luasan pulau Bali terhitung hanya 0.29% dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kondisi seperti itu, Bali memiliki sedikit keistimewaan dan keunikan tersendiri dari alamnya. Salah satunya, dengan bentang alam yang tidak begitu luas, masyarakat atau juga wisatawan yang berkunjung ke Bali bisa menikmati alam pantai, danau, dan gunung dalam hitungan jam atau cukup singkat, tidak perlu berhari-hari.
Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi 8 (delapan) Kabupaten dan satu Kota di Bali ini, dengan masing-masing potensi laut, danau, dan gunung yang dimiliki, lokasinya sangat berdekatan. Contohnya masyarakat Nusa Dua yang ada di wilayah Kabupaten Badung bagian selatan, dengan leluasa bisa melihat tegaknya Gunung Agung yang ada di ujung timur pulau Bali, tepatnya di Kabupaten Karangasem.
Semua wilayah yang ada di Bali, memiliki kontur yang tidak begitu ekstrim satu sama lainnya. Bentang sawah ada dimana-mana, tegalan, pesisir pantai, dan juga gunung. Kondisi ini menjadikan masyarakat Bali, sejak jaman dahulu telah memilih cara hidup yang sesuai dengan kondisi alamnya. Dari masing-masing kondisi alam yang ada, terdapat 2 (dua) sistem pola hidup yang terkenal yaitu bendega, sebagai tatanan pola hidup masyarakat pesisir pantai, dan subak sebagai sistem dan tatanan pola hidup masyarakat agraris atau pertanian.
Kedua sistem dan pola hidup masyarakat Bali ini, menjadikan Bali memiliki kondisi alam yang terpelihara dengan baik. Pantai dan laut sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir, juga merupakan tempat pemujaan dan ritual yajna dalam rangka memohonkan kesucian alam beserta segala isinya. Setiap tahun masyarakat Bali melakukan ritual melasti ke pesisir, sebelum datangnya tahun baru Saka.
Demikian juga hal dengan masyarakat di dataran sedang dan tinggi (gunung), memiliki kondisi alam yang memberikan aura magis bagi Bali itu sendiri. Gunung di yakini sebagai tempat berstananya para Dewa yang melindungi Bali dengan segala isinya. Keyakinan ini menambah kuatnya perilaku manusia Bali dalam memuliakan pantai dan laut (segara) dan dataran tinggi (gunung).
Adakah masyarakat Bali kini masih mengenal dan melestarikan dengan baik sistem bendega dan subak tersebut? Bendega merupakan sistem pengelolaan alam pantai masyarakat Bali pesisir. Sistem ini merupakan sistem kuno dan kuat dalam menata dan menjadikan kehidupan masyarakat pesisir dengan baik.
Bendega adalah tata kelola dalam rangka memberlakukan alam pantai dan laut dengan sangat baik. Terdapat ruang-ruang yang jelas untuk mengatur mana yang menjadi kesepakatan bersama dalam memanfaatkan dan memelihara pantai dan laut sebagai sumber kehidupan.Demikian juga halnya dengan sistem subak.
Sistem subak merupakan sistem tata agraris kuno, yang saat ini bisa dikatakan subak sebagai sistem dengan teknologi tinggi. Dengan sistem subak masyarakat pertanian mengatur pembagian air, mengatur dan memelihara sumber air, serta memanfaatkan demi kepentingan bersama. Sistem subak merupakan sistem kemasyarakatan agraris yang independen, memiliki sistem organisasi mandiri tanpa tergantung dan mengganggu sistem kemasyarakatan (adat) yang ada.
Sungguh luar biasa. Dengan adanya sistem bendega dan sistem subak inilah menjadikan alam Bali terpelihara dengan baik. Konsep yang terpelihara dengan sebutan Segara Gunung oleh masyarakat Bali, adalah wujud skala dan niskala dari sisten bendega dan sistem subak tersebut. Tempat-tempat suci berupa Pura-Pura besar seperti Pura Kahyangan Jagat dan Sad Kahyangan di Bali, senantiasa berada di posisi pesisir atau segara dan gunung. Pada kedua posisi inilah (segara gunung) alam Bali bisa terpelihara dengan baik (terkontrol). Bagaimana kondisi terhadap kedua sistem tradisi kuno Bali saat sekarang ini?
Dengan menjadikan Bali sebagai daerah tujuan wisata, tentunya sudah banyak terjadi perubahan terhadap tata kelola sistem bendega dan sistem subak ini. Kondisi pesisir pantai yang sudah banyak berubah menjadi akomodasi pariwisata, termasuk juga daerah persawahan, pegunungan, daerah aliran sungai (DAS). Kondisi perekonomian Bali yang bertumpu pada pariwisata – dengan ikon pariwisata budaya – secara langsung dan tidak langsung sudah memberikan warna dan perubahan besar terhadap sistem bendega dan sistem subak ini.
Banyak tempat dengan lokasi sebagai daerah pertanian, sistem subak untuk tata kelola pengairannya juga berubah bahkan rusak karena tidak lagi dibutuhkan. Sistem bendega di daerah pesisir pantai juga berubah bahkan sudah tidak dikenal lagi oleh masyarakat Bali. Memang kondisi ini menjadikan Bali dalam posisi sulit untuk memilih dan mempertahankan kedua sistem kelola tersebut.
Namun perlu disadari bahwa bila pemerintah terus terlena bahkan melupakan serta masyarakatnya tidak ikut mempertahankan sistem bendega dan sisten subak ini, sebagai sebuah sistem kelola kehidupan masyarakat Bali sesuai dengan kondisi alamnya, maka lambat laun Bali akan kehilangan budayanya dan Bali tidak akan mengenali jati dirinya.
Perlu langkah bersama-sama, antara pemerintah, masyarakat, dan seluruh stakeholder untuk bersama-sama mengembalikan kondisi Bali menjadi lebih baik lagi. Secara bersama-sama, pelan dan pasti, alam Bali harus tetap dijaga dan dimuliakan. Ditata ulang sehingga sistem bendega dan subak kembali hidup dalam rangka menjaga keseimbangan alam Bali serta menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat Bali.
Dengan cara seperti inilah angan-angan mewujudkan Nangun Sat Kerthi Loka Bali bisa tercapai. Jangan tinggalkan bendega dan subak, karena dengan bendega dan subak alam Bali akan terpelihara dengan baik serta memberikan berkah berkesinambungan bagi masyarakatnya. Bendega Subak dan Segara Gunung, konsep yang luar biasa untuk memelihara alam dan kehidupannya serta menjadikan Bali yang damai.
Ditulis oleh : Ida Bagus Purwa Sidemen, S.Ag., M.Si (Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar)