News Pariwisata & Budaya

ADHYĀYA BUDAYA BALI #4 – PURNAMA TILEM “HARI UNTUK SUCI LAKSANA”

Lintasbali.com – Dalam agama Hindu di Bali ada dikenal istilah rwa bhineda, yaitu dua hal berbeda (bertentangan). Segala sesuatu yang ada di dunia ini juga memiliki sifat rwa bhineda, dua hal yang berbeda, bertentangan, namun saling terkait bahkan keberadaannya – walaupun tidak semua – bisa sama-sama saling mendukung atau dibutuhkan. Bahkan rwa bhineda ini juga berlaku bagi alam.

Salah satunya yaitu kondisi alam saat bulan bersinar penuh, disebut Purnama (bulan penuh/fullmoon), dan saat bulan tanpa memantulkan sinar sedikitpun, disebut tilem (bulan mati). Bulan adalah satelit alami bumi dan merupakan satelit terbesar kelima dalam tata surya. Bulan merupakan satu-satunya benda terdekat dengan bumi yang memiliki peran besar dalam kehidupan di bumi, salah satunya yaitu mempengaruhi gravitasi bumi yang berakibat adanya pasang surut air laut.

Dalam mitologi Hindu, bulan disebut dengan Dewa Chandra. Dewa Chandra sebagai Soma menguasai Somawara (hari Senin). Maka, demikian halnya bagi orang Bali sejak dahulu, bila ada kelahiran dari seorang anak yang lahir pada hari Senin diberikan nama Chandra, Wulan, Bulan, atau Ratih (Sanghyang Ratih/Dewi Ratih) dengan tujuan agar Dewa Chandra senantiasa memberikan perlindungan bagi anak tersebut.

Ida Bagus Purwa Sidemen, S.Ag., M.Si

Dalam literatur Purana, Dewa Siwa sebagai dewa penguasa tertinggi dalam agama Hindu, pada rambut Dewa Siwa terdalam hiasan berupa bulan sabit yang disebut Ardachandra. Hal ini merupakan simbol atas perlindungan Dewa Siwa kepada Dewa Chandra, agar Dewa Chandra terlindung bahkan terbebas dari kutukan Prajapti Daksa.

Kutukan Prajapti Daksa diberikan kepada Dewa Chandra, karena Dewa Chandra berlaku tidak adil kepada para istrinya. Para istri Dewa Chandar adalah anak-anak dari Prapati Daksa. Untuk menghindari kutukan tersebut, Dewa Siwa memberikan anugerah bahwa dalam sebulan Dewa Chandra akan hidup dan bersinar/bercahaya (purnama) selama 15 hari dan satu hari mati dengan kehilangan sinarnya (tilem). Bulan melambangkan siklus waktu dimana penciptaan ada di dalamnya dari awal hingga akhir dan kembali lagi dari awal.

BACA JUGA:  Pemkot Denpasar Siap Realisasikan 18 Unit Rumah Layak Huni Pada APBD Perubahan Tahun 2024

Dalam mitologi wariga di Bali, diyakini bahwa hari-hari yang dipakai dalam sistem kalendar Bali adalah merupakan suatu sistem dimana unsur-unsur satu dengan yang lainnya saling terkait erat dan berhubungan secara teratur. Adanya istilah tanggal-panglong karena penggunaan perhitungan perbedaan bulan mengelilingi bumi dan bersama bumi ikut mengelilingi matahari sehingga terjadi purnama dan tilem.

Purnama terjadi, bila bulan sempurna atau penuh kelihatan dari bumi. Tilem terjadi, bila bulan mati atau sama sekali tidak tampak dari bumi. Perhitungan untuk menentukan purnama dan tilem disebut dengan Pangalantaka. Pengalihan purnama dan tilem untuk menentukan bulan penuh dan bulan mati, dari purnama menuju tilem lamanya 15 hari.

Dari perhitungan 1 (satu) sampai 15 (limabelas) hari itu disebut panglong (kresna paksa), dan dari tilem menuju purnama lamanya 15 hari juga. Perhitungan dari 1 (satu) sampai 15 (limabelas) hari ini disebut pananggal (sukla paksa). Perhitungan dari purnama menuju purnama atau dari tilem menuju tilem disebut satu bulan Chandra yang lamanya 29 hari, 12 jam, dan 44 menit, dibulatkan menjadi 30 hari (BG. Rawi , 60:2014).

Pada saat bulan bersinar penuh atau disebut dengan bulan purnama, masyarakat Hindu Bali meyakini rasa kesucian yang tinggi pada hari purnama sehingga hari purnama sering disebut sebagai ‘dewasa ayu’. Pelaksanaan datangnya hari-hari suci Hindu Bali yang bertepatan dengan hari purnama dan jatuh dengan pertemuan atau patemon dina yang baik dan tepat dalam wariga Bali, upacaranya disebut dengan ‘nadi’.

Oleh petunjuk sastra agama Hindu (lontar purwa gama), adanya tuntunan agar umat Hindu senantiasa ingat melaksanakan suci laksana, khususnya pada hari purnama dan tilem. Hal ini dilakukan agar bisa mempertahankan serta meningkatkan kesucian diri, terutama para wiku, untuk mensejahterakan alam beserta segala isinya karena semua mkhluk akan kembali kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, tergantung tingkat kesuciannya masing-masing (Sudarsana.IB,184:2003).

BACA JUGA:  Kwarda Bali Serahkan Bantuan 25 Paket Sembako

Pergantian waktu dan perputaran alam sudah diatur sedemikian rupa sehingga semua diharapkan berjalan sesuai hukum alam itu sendiri. Proses inilah yang oleh umat Hindu Bali diyakini untuk senantiasa disucikan. Dunia saat di malam hari, tidak saja saat dalam kondisi terang benderang bertebaran cahaya bulan purnama dianggap sebagai hari baik dan suci, namun saat alam dalam keadaan gelap gulita, dimana sinar bulan tidak nampak sedikitpun (tilem) juga meruapakan hari yang keramat dan suci. Sehingga oleh umat Hindu Bali, setiap datangnya bulan purnama dan tilem senantiasa melakukan ritual dan suci laksana agar dalam perjalanan menempuh kehidupan ini senantiasa diberikan kekuatan oleh Sang Maha Kuasa dan terhindar dari mara bahaya.

Ditulis oleh : Ida Bagus Purwa Sidemen, S.Ag., M.Si (Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar)

Post ADS 1