JAKARTA, lintasbali.com – Salah satu nilai dalam ajaran Panca Yama Brata adalah “Asteya”, artinya tidak mengambil milik orang lain. Atau dalam turunan ajaran Tri Kaya Parisuda disebut “Tan Engin Ri Druwening Len” yang artinya kira-kira sama: tidak menginginkan milik orang lain.
Banyak sekali masalah yang timbul karena orang melanggar substansi dalam ajaran ini. Pencuri/perampok, orang yang merebut pasangan sah orang lain, pejabat yang korup adalah contoh peristiwa yang sering kita dengar atau lihat setidaknya di berita2 TV.
Kasus bully di salah satu institusi pendidikan bergengsi yang menyebabkan seorang mahasiswi mengakhiri hidupnya, juga sebenarnya terkait dengan substansi ajaran ini. Senior2 yang memungut “uang reman” 20 hingga 40 juta per bulan itu sedang mengambil apa yang bukan haknya. Mereka melakukannya hanya karena mereka berkuasa.
Atau issue pemotongan anggaran yang belakangan ramai karena disuarakan para mahasiswa. Kalau itu benar terjadi, tentu sangat memalukan. Bayangkan, ada orang2 yang digaji oleh negara untuk mendorong berbagai program pembangunan. Tentu program2 itu ada anggarannya dari APBN. Lalu ada kelompok masyarakat, Ormas, LSM, atau berbagai bentuk organisasi, partikelir yang tidak digaji, bersedia menjadi partner pemerintah untuk melaksanakan program sesuai bidang kerjanya. Lalu dana APBN pun dikucurkan. Tapi di kwitansi tertulis 100, yang diterima 90. Selisihnya cincay, semacam “uang jasa” karena sudah “membantu”.
Sesungguhnya, pemerintah sangat membutuhkan partner untuk mengeksekusi program. Tanpa partner, kemampuan pemerintah dalam mengeksekusi program sangat kecil. Tanpa program artinya serapan anggaran tidak tercapai, artinya tidak cerdas atau malas, artinya gagal mendorong pembangunan. Artinya, dalam sistem meritokrasi, pimpinannya siap2 diganti.
Dengan demikian, para pejabat pemegang kuasa anggaran itu harusnya berterima kasih kepada para partner yang sudah membantu mengeksekusi program dan mendorong pembangunan. Bukan sebaliknya malah minta persenan.
Tapi lagi lagi, masalah kita seringkali bukan pengetahuan. Masalah utama kita adalah daya tahan. Semua orang mengetahui dengan jelas bahwa korupsi, “uang reman”, cincay uang tanda terima kasih, adalah tidak benar. Tapi seberapa kuat daya tahan kita menghadapi godaan yang enak2 itu? 10% dari 10 milyar adalah 1 milyar. Uang yang cukup banyak untuk beli mobil baru, rumah baru, atau liburan ke negeri Kanguru. Itu kalau 10 milyar. Kalau 100 milyar? Mungkin akan tergoda untuk cari mamah baru.
Kata Bob Marley, uang adalah angka, dan angka tak ada ujungnya. Maka jika kebahagiaan kita diukur dengan uang, pencarian kita akan kebahagiaan tak akan berujung. Mungkin karena itu, alih2 mengajarkan “mengejar”, Bhagawad Gita justru menekankan pentingnya pengendalian diri.
tāni sarvāṇi saṁyamya yukta āsīta matparaḥ, vaśe hi yasyendriyāṇi tasya prajñā pratiṣṭhitā.
(II.61)
Setelah menguasai seluruh indrianya, ia yang bijaksana tetap teguh dalam Yoga padaku; karena ia yang dapat mengedalikan indria-indrianya adalah orang yang memiliki kebijaksanaan yang mantap
Penulis: I Ketut Budiasa, ST., MM. (Sekretaris Umum Pengurus Harian)