DENPASAR, lintasbali.com – Keluarga besar Jro Gde Kepisah melalui kuasa hukum mereka, Prof. Dr. Drs. Agung Ngurah Agung, SH, MH, CLA, secara tegas menyuarakan keberatan atas status P21 yang disematkan kepada Anak Agung Ngurah Oka dalam kasus sengketa tanah waris.
Kasus ini diduga disusupi praktik mafia tanah dan dianggap merugikan tidak hanya klien mereka, tetapi juga mencerminkan adanya indikasi kriminalisasi hukum yang melanggar prinsip keadilan yang seharusnya dimiliki oleh semua pihak.
Agung Ngurah Agung mengungkapkan bahwa dasar hukum yang digunakan untuk menetapkan P21 dalam kasus ini sangat mencurigakan.
“Dasar P21 ini sangat ganjil dan berpotensi mencederai keadilan yang seharusnya menjadi hak semua pihak,” ujarnya kepada wartawan dalam konferensi pers yang diadakan pada Minggu, 27 Oktober 2024 di Denpasar.
Ia menegaskan bahwa penetapan status P21 seharusnya tidak dilakukan tanpa memastikan semua petunjuk jaksa sebelumnya telah dipenuhi.
Agung menjelaskan bahwa dalam proses penyidikan, terdapat petunjuk-petunjuk jaksa yang sebelumnya disampaikan saat status P19. Ia merasa perlu mempertanyakan apakah petunjuk-petunjuk tersebut telah dilaksanakan dengan baik oleh penyidik.
“Saya heran sekali, petunjuk-petunjuk jaksa yang selama ini diberikan saat P19 kepada pihak penyidik, apakah itu sudah terpenuhi atau belum. Ini sangat krusial, terutama terkait dengan masalah tanah yang memerlukan pendalaman yang cermat,” ungkapnya.
Ia menyoroti pentingnya memenuhi semua petunjuk jaksa sebelum melanjutkan ke tahap selanjutnya.
“Apapun alasannya, petunjuk jaksa yang ada harus dipenuhi dulu. Masalah kepemilikan pertanahan ini sebenarnya jelas. Kepemilikannya bisa diungkap karena bukti tanah itu tidak kemana-mana; tanahnya ada, dan jelas siapa yang menguasai tanah tersebut. Asas kepemilikan tanah harus diutamakan untuk kepentingan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” tegasnya.
Agung juga menekankan bahwa tanah yang menjadi objek sengketa ini telah dikuasai secara turun-temurun hingga empat generasi. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan tanah tersebut memiliki nilai historis dan kultural yang kuat bagi keluarga Jro Gde Kepisah.
“Apalagi jika tanah itu sudah dikuasai secara turun-temurun sampai empat generasi. Bahkan hingga kini ada lembaga keagamaan yang terkait dengan tanah tersebut,” tambahnya.
Lebih lanjut, Agung mengingatkan bahwa kliennya sudah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM), yang diakui sebagai dokumen kepemilikan tanah dengan kekuatan hukum tertinggi menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
“Klien kami sudah memiliki sertifikat, di mana dalam UUPA, hanya sertifikat hak milik yang paling tinggi kekuatan hukumnya dalam dokumen kepemilikan tanah. Ini seharusnya menjadi pertimbangan serius bagi pihak berwenang,” ujarnya.
Ia juga merujuk pada surat dari Kejaksaan Agung yang menegaskan bahwa dalam menangani perkara pertanahan, alas hak dan bukti haknya harus jelas terlebih dahulu.
“Artinya, pelapor seharusnya diminta untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar berhak atas tanah yang ingin diklaim. Ini menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum, baik kejaksaan maupun kepolisian, untuk bertindak hati-hati dan cermat,” tegas Agung.
Dalam pernyataan tersebut, keluarga Jro Gde Kepisah berharap agar kasus ini mendapatkan perhatian serius dari pihak berwenang, serta meminta agar proses hukum dilakukan secara transparan dan adil.
Mereka menekankan bahwa keadilan harus ditegakkan untuk semua pihak yang terlibat, tanpa adanya tekanan atau pengaruh dari pihak-pihak yang diduga terlibat dalam praktik mafia tanah.
Dikonfirmasi wartawan terkait hal tersebut, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Bali, Putu Agus Eka Sabana Putra mengatakan akan mengkonfirmasi ke bidang yang menangani perkara. Namun hingga berita ini ditayangkan, belum ada klarifikasi yang diberikan. “Kami belum dapat infonya. Besok kami kroscek dulu ke yang menangani ya,” katanya. (Red/LB)