DENPASAR, lintasbali.com – Kasus sengketa tanah yang melibatkan keluarga Jro Kepisah di Bali kembali mencuat dan memicu perdebatan luas di kalangan publik. Sengketa ini mengingatkan publik pada kasus Wayan Sukena yang sebelumnya mendapatkan kritikan tajam terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam proses hukum.
Kuasa hukum keluarga Jro Kepisah, Prof. Dr. Drs. Agung Ngurah Agung, SH, MH, CLA mengatakan bahwa penetapan kliennya, Anak Agung Ngurah Oka sebagai tersangka dan status P21 (berkas lengkap) oleh penuntut umum Kejaksaan Tinggi Bali atas perkara kliennya itu, terindikasi ada pelanggaran lantaran mengabaikan petunjuk jaksa sebelumnya yang meminta penyidik membuktikan kepemilikan objek tanah yang diklaim oleh pelapor serta keabsahan bukti yang disampaikan pelapor.
Dalam keterangannya, Ngurah Agung menyoroti dasar penetapan status tersangka kliennya dalam laporan dugaan melanggar pidana Pasal 263 KUHP terkait pemalsuan dokumen, dalam hal silsilah keluarga. Menurutnya, pemalsuan ini hanya dapat diterapkan jika ada hubungan darah atau garis keturunan antara kliennya dengan pelapor, yaitu pihak dari Jro Suci.
“Tidak ada hubungan keturunan antara Jro Kepisah dan pelapor dari Jro Suci,” tegas Agung Ngurah, Selasa 29 Oktober 2024.
Ia juga menyebut bahwa keluarga Jro Suci sama sekali tidak pernah menguasai tanah seluas kurang lebih 8 hektar di Subak Kerdung, Pedungan Denpasar yang diklaim pelapor. Ngurah Agung mengatakan tanah itu telah dikuasai keluarga kliennya secara turun-temurun hingga empat generasi.
Lebih lanjut, Ngurah Agung menggarisbawahi bahwa meskipun ada perbedaan pada silsilah yang digunakan dalam pengajuan sertifikat tanah oleh keluarga Jro Kepisah, hal tersebut adalah hak yang sepenuhnya dimiliki oleh keluarga dan telah disepakati di internal keluarga kliennya.
“Perbedaan pada silsilah yang diakui keluarga tidak bisa dijadikan dasar pemalsuan. Itu adalah hak keluarga dan telah disepakati di antara mereka,” ujarnya.
Ngurah Agung juga menegaskan bahwa hak untuk mengajukan sertifikat tanah tersebut sepenuhnya berada di tangan keluarga Jro Kepisah, mengingat mereka telah menguasai tanah tersebut secara sah selama empat generasi.
Ngurah Agung mengatakan dokumen pipil dan dokumen eigendom verponding seperti pajak dan bukti bayar IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) yang dipakai pelapor mengklaim tanah kliennya adalah dokumen-dokumen yang secara hukum kepemilikan tanah sudah tidak berlaku sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
“Jadi kalau pun dia (pelapor) punya pipil atau bukti lain tapi tidak didaftarkan ke negara, negara yang berhak atas tanah tersebut. Apalagi dia tidak menguasai fisik objek tanah yang diklaim ini. Jelas selama ini turun temurun selama empat generasi klien kami yang menguasai fisik objek tanah itu. Dan sekarang sudah dibuktikan dengan sertifikat hak milik (SHM),” paparnya.
Untuk itu, Ngurah Agung kembali menegaskan, bawa petunjuk jaksa agar penyidik membuktikan status hak pelapor atas tanah itu dibuktikan dulu, setelah terbukti baru kemudian dapat diproses secara pidana jika di dalamnya ada unsur perbuatan pidana yang dilakukan oleh terlapor.
“Yang paling penting dalam kasus ini adalah penegak hukum seharusnya minta pelapor membuktikan dulu bukti haknya atas tanah yang diklaim. Petunjuk dari Karowassidik (Kepala Biro Pengawasan Penyidikan) Polri saat kami melapor juga seperti itu. Agar penyidik Polda Bali (yang menangani laporan, red) memenuhi petunjuk jaksa yaitu membuktikan status keperdataan hak si pelapor atas objek tanah itu,” ungkapnya.
Ia juga mengatakan, bahwa Jaksa Agung Republik Indonesia pernah mengingatkan seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi dan Negeri di Indonesia agar berhati-hati dan cermat menangani laporan pidana yang terkait dengan kepemilikan tanah. Dalam surat itu, Jaksa Agung menegaskan agar jaksa memastikan terlebih dahulu status kepemilikan tanah sengketa.
Jika status bukti kepemilikannya jelas menurut ketentuan undang-undang, yakni telah bersertifikat hak milik (SHM), maka jika ada pihak yang melanggarnya, misalnya berupa penyerobotan tanah, maka kasus tersebut dapat dipidanakan.
Sebaliknya, jika belum jelas status kepemilikannya (belum ada SHM) maka kasus tersebut berada pada ranah perdata dan merupakan perkara perdata murni sehingga tidak selayaknya digiring masuk menjadi pidana.
“Jadi kalau seperti ini (tanpa pembuktian hak pelapor atas tanah yang diklaim, red), ini indikasi pelanggaran. Jaksa telah melakukan pelanggaran dalam penetapan P21. Jadi patut dicurigai, ada motif apa jaksa ini,” tegasnya.
Sebelumnya, Kasi Penkum Kejaksaan Tinggi Bali, Eka Sabana, memberikan pernyataan yang menegaskan bahwa semua proses hukum yang berlangsung telah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Menurutnya, seluruh alat bukti yang diserahkan sudah memenuhi syarat untuk mendukung dakwaan.
“Penuntut Umum telah melakukan penilaian atas alat bukti yang diperlukan dan telah dinyatakan lengkap (P21) oleh penyidik. Jika ada keberatan dari kuasa hukum terdakwa, itu bisa diuji di pengadilan,” kata Eka Sabana. (Red/LB)