DENPASAR, lintasbali.com – Pengamat dan Akademisi Hukum adat, Gede Yoga Satrya Wibawa, S.H.,M.H., menyatakan bahwa secara Konstitusi yang diakui adalah kesatuan masyarakat hukum adat, bukan perkumpulan kesatuan masyarakat hukum adat (MDA dan sejenisnya). Desa adat punya tempat yang terhormat di mata negara dan konstitusi. Ironisnya, menurut dia, di Bali malah dipaksa mengikuti pakem.
“MDA sejauh pengamatan tyang, hanya kendaraan politik eksekutif, hal ini jelas menghilangkan prabawa “desa mawacara”, ujarnya saat ditemui di Denpasar, Minggu, 21 September 2025.
Lebih lanjut Gede Yoga Satrya Wibawa menegaskan bahwa dalam khazanah hukum adat Bali, desa adat sesungguhnya memiliki kedudukan luhur sebagai representasi dari kesatuan masyarakat hukum adat. Konstitusi kita, melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, secara jelas mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Pengakuan ini bersifat langsung, melekat pada komunitas, dan bukan pada sebuah lembaga perkumpulan yang dibentuk secara top-down” tegasnya.
Menurut pria kelahiran Denpasar ini, dalam konteks Bali, keberadaan Majelis Desa Adat (MDA) sering diposisikan sebagai pengayom desa adat. Namun, jika ditilik secara kritis, peran MDA justru memunculkan problematika baru.
Alih-alih menjadi ruang penguatan marwah desa adat, MDA lebih sering dipersepsikan sebagai wadah birokratis yang mengatur dari atas, bukan sebagai cermin aspirasi organik dari masyarakat adat. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai dasar konstitusional dan legitimasi adatnya.
Sebagai lembaga, MDA menurut Gede Yoga Satrya Wibawa tidak memiliki pijakan kuat dalam kerangka konstitusi. Yang diakui oleh negara adalah kesatuan masyarakat hukum adat,yang dalam konteks Bali bernama Desa Adat, bukan perkumpulan atau asosiasi antar desa adat.
“Keberadaan desa adat sendiri sebenarnya sudah cukup untuk berdiri tegak sebagai subjek hukum adat yang dihormati, dan jujur saja, MDA itu tidak perlu ada,” tegas Gede Yoga Satrya Wibawa.
Justru, intervensi kelembagaan semacam ini seringkali mengurangi otonomi asli desa adat, memaksanya mengikuti pola tunggal yang seragam, padahal adat di Bali sangat beragam dan kaya dengan kearifan lokal.
Sebagai bagian dari anggota Desa Adat, pihaknya menyayangkan MDA sejauh ini lebih banyak digunakan sebagai kendaraan politik eksekutif. Desa adat yang semestinya menjadi arena musyawarah bebas (desa mawacara) kini tereduksi menjadi desa yang seragam suara. Pluralitas pandangan yang seharusnya memperkaya dinamika adat justru diredam dalam satu suara tunggal yang lebih mencerminkan kepentingan politik daripada kepentingan adat. Implikasi dari kondisi ini cukup nyata.
Menurut catatan akademisi muda ini, banyak desa mengalami perpecahan internal, karena harus menyesuaikan dengan parameter administratif demi memperoleh dana desa selain memenuhi standaridasi dari MDA. Dalam hal ini, MDA justru tampil sebagai pengarah utama (leading sector), sehingga desa adat kehilangan otonominya untuk menata diri sesuai tradisi masing-masing.
Lebih ironis lagi menurutnya, desa Bali Aga yang memiliki sistem adat turun-temurun yang khas ikut terdorong untuk mengikuti pola struktur “bandesa adat” beserta “baga-baga”-nya yang dipaksakan. Ini menimbulkan pengikisan terhadap identitas adat yang sudah eksis berabad-abad lamanya, dan berpotensi merusak keaslian tatanan sosial budaya yang menjadi roh desa adat itu sendiri.
“Padahal dalam Perda tentang desa adat, desa-desa Bali Aga sudah diakomodir untuk luput dari pengaturan atau memilih untuk tidak mengikuti. “Ingat, kita tidak boleh “ila-ila dahat” terhadap warisan luhur para lelangit Bali ini”, pungkasnya. (LB)