Pariwisata & Budaya

IB. Purwa Sidemen : “HILANGNYA BENGANG TEMPAT BENGONG”

Denpasar, Lintasbali.com – HILANGNYA BENGANG TEMPAT BENGONG Refleksi kearifan lokal untuk menjaga jarak (social distancing).

Bengang, adalah sebuah kata yang memiliki beberapa arti diantaranya seperti lengang, sunyi, lahan kosong, suung, tidak ramai, sepi, luas, jalanan panjang yang diapit tegalan atau sawah, atau tempat tidak banyak orang (kamus bahasa Bali). Dalam kehidupan masyarakat di Bali, bengang tersebut dipahami sebagai tempat yang lenggang, sepi, sunyi, dan biasanya terdapat pada ujung desa dengan jarak yang cukup jauh dari pemukiman. Bengang biasanya sekaligus sebagai area perbatasan antar desa adat di Bali.

Bengang juga menjadi pertanda bahwa kita sudah memasuki sebuah wilayah desa, karena bengang itu bercirikan tempat yang kosong, lenggang, sepi, tidak ramai, luas dan panjang yang diapit oleh tegalan atau persawahan. Bahkan di beberapa tempat, bengang masing-masing desa adat bercirikan secara khusus sehingga ciri tersebut sekaligus sebagai sebuah pertanda dari desa yang dimasuki.

Bengang pada beberapa desa adat termasuk desa Bali Aga atau Bali Kuna yang ada di Bali, berfungsi sebagai konsep ulu teben (atas bawah). Konsep ulu teben menjadi penting dalam mengatur tata ruang desa adat, terkait area atau ruang palemahan, pawongan dan parahyangan.

Apakah saat ini masih bisa melihat bengang di Bali ? Kenapa bengang harus tetap ada dan masih diperlukan?

Bengang adalah tempat yang berfungsi menjaga jarak antara pemukiman sebuah desa dengan pemukiman desa lainnya pada sebuah desa adat atau beberapa desa adat di Bali. Jarak yang ditentukan meliputi beberapa komponen penting pada sebuah desa. Bengang identik juga dengan tempat kosong, sunyi, jauh dari keramaian, dan juga sebagai tempat untuk bengong (merenung).

Bengong tidak saja bermakna “melongo” tapi lebih dari itu. Bengong di area bengang bermakna tempat untuk introspeksi diri. Alam pedesaan atau penataan ruang sebuah desa adat di Bali, banyak masih menyediakan tempat sebagai bengang. Namun kondisi ini berbeda sekali bila di lihat di perkotaan, bengang sulit ditemukan bahkan sudah ada yang hilang.

Di beberapa tempat desa adat di Bali, dimana alam pedesaannya masih sangat asri dan berkembang menjadi daerah pariwisata, bengang yang dulunya terjaga dengan baik sudah ada atau semakin jarang ditemukan. Bengang sebagai tempat dengan hamparan luas dan sunyi, justru sangat menarik bagi kalangan pengusaha untuk mengambilnya dan menjadikannya sebagai daya tarik bagi wisatawan.

BACA JUGA:  Swabawa : Pariwisata Berkelanjutan Jadi Tanggungjawab Semua Pihak

Banyak bengang yang karena daya tariknya sudah berubah dan dipenuhi objek wisata seperti café, restoran, vila, homestay, toko kerajinan dan toko oleh-oleh, bahkan menjadi tempat pemukiman ekslusif (perumahan). Bengang sebagai batas antar desa oleh pemerintah sudah diatur juga dan dijadikan sebagai daerah khusus dengan sebutan “jalur hijau”.

Jalur hijau adalah arena yang harus dijaga sebagai lingkungan alami dan asri serta tidak boleh didirikan bangunan apapun, apalagi untuk usaha atau tempat tinggal. Tetapi kenyataannya, jalur hijau pun banyak dilanggar dan sudah berubah menjadi tempat tinggal atau tempat usaha dan sebagainya.

Bengang yang indah sebagai tempat bengong menjadikan kita bingung karena berubah menjadi tempat yang riuh dengan berbagai aktivitas dan atraksi wisata. Bahkan semuanya berubah menjadi ruang industri yang penuh sesak, lupa bahwa bengang merupakan tata ruang desa yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan alam dan memelihara keharmonisannya.

Kesadaran kita juga mulai redup tatkala ajaran leluhur yang kita warisi, lupa untuk dijaga dan tetap dipelihara dengan baik. Generasi milennium saat ini mungkin tidak tahu atau bahkan tidak mengenal apa itu bengang? Bengang sebagai sebuah istilah dari kearifan lokal leluhur orang Bali, tentu tidak dikenalnya.

Para leluhur Bali sudah sedemikian teraturnya menata pola kehidupan kita termasuk tata ruang desa atau tata letak tempat tinggal serta jarak-jarak tertentu yang menjadi aturannya. Saat ini kita mengenal ilmu teknik perencanaan wilayah dan kota (planologi), ternyata dahulu para leluhur Bali sudah memiliki cukup pengetahuan dan teknik perencanaan wilayah (planologi) dan sekaligus menerapkannya.

Sebuah lokasi perkampungan atau desa adat di Bali memiliki bengang sebagai area kosong untuk memberikan jarak antar desa adat. Bila kita bandingkan saat ini, khusus di daerah pemukiman desa adat yang ada di perkotaan seperti Badung dan Denpasar, bengang adalah sesuatu yang jarang dan susah ditemukan lagi. Ternyata, betapa pentingnya mengatur jarak sehingga kehidupan kita bisa berjalan harmonis.

BACA JUGA:  Kadis Pariwisata Bali: Fokus Tangani Covid-19, Pemulihan Pariwisata Setelah Covid-19 Berakhir

Bengang, sebuah istilah penting dan keberadaannya sangat berarti, khususnya sekarang ini disaat kita mengalami wabah atau pandemic virus Covid-19. Menata dan menjaga jarak tertentu seperti keberadaan bengang itu sendiri adalah salah satu pemutus penyebaran virus atau wabah yang menimpa umat manusia.

Saat ini, dimana wabah virus Covid-19 merebak dimana-mana, oleh pemerintah dikeluarkan aturan bahwa penting untuk menjaga jarak atau dikenal dengan istilah social & physical distancing. Kita mulai lupa bahwa istilah dan keberadaan bengang itu sendiri sebagai sebuah kearifan lokal, yang dimaksudkan kurang lebih sama dengan social distancing.

Ida Bagus Purwa Sidemen, S.Ag., M.Si (Direktur Eksekutif BPD PHRI Bali)

Di daerah-daerah pedesaan atau desa adat di Bali, bengang masih berfungsi maksimal dalam rangka social distancing. Sangat berbeda kondisi ini dengan desa-desa di daerah perkotaan dimana jarak antar desa yang satu dengan yang lainnya tanpa bengang.

Apakah ada yang salah sehingga keberadaan bengang itu hilang saat ini? Padahal tata ruang desa dan pemukiman yang dibatasi dengan bengang itu sangat penting artinya. Ini salah satu contoh kearifan leluhur Bali yang diabaikan, tak terdengar bahkan hilang ditelan jaman. Untuk itu, perlu harus dilakukan koreksi, evaluasi, introspeksi diri (mulat sarira) dengan kembali melihat ke dalam diri kita.

Introspeksi diri sebagai upaya melihat diri ke dalam dan mengevaluasi hal-hal apa yang keliru untuk diperbaiki, dan menjaga yang baik untuk tetap baik, serta tetap dilaksanakan secara konsisten bersama-sama. Keberadaan sebuah bengang sebagai kenyataan dalam menjaga jarak dengan kondisi sunyi, sepi, tidak ramai, dan lengang, merupakan tatanan untuk mengatur agar harmonisasi antara manusia (pawongan) dengan alam sekitar (palemahan) tempat tinggalnya bisa terjaga dengan baik.

Kenyataannya sekarang ini, saat kita menghadapi hebatnya serangan wabah virus yang melanda hampir seluruh negara-negara di dunia, menjaga jarak (social & physical distancing) adalah sebuah cara untuk memutus perkembangan dan penyebaran wabah penyakit tersebut. Bengang sebagai tempat bengong yang telah hilang, jangan sampai menjadikan kita bingung. Untuk itu kita harus segera sadar kembali dan memperbaiki serta menjaga semuanya agar alam terjaga dengan baik.

BACA JUGA:  Peringati Hari Pahlawan, AMERTA Gelar Penanaman Pohon

Bila dilihat lebih mendalam kata bengang itu sendiri sebagai bentuk fisik dan maknanya, artinya adalah tempat lengang, suung, panjang (luas) yang sunyi dan sepi. Maka kearifan lokal leluhur Bali yang kita warisi tersebut jelas tersirat sebuah pesan bahwa alam dimana kita tinggal perlu diatur sedemikian rupa, dimana ada tempat yang cukup lengang (bengang) untuk bengong (berkaca mengevaluasi dan introspeksi diri – mulat sarira).

Hendaknya ini bisa dijadikan sebagai pegangan bahwa dalam komunitas dimana masyarakat itu tinggal, tempat yang cukup lega atau ruang terbuka tetap dibutuhkan untuk memberikan ruang yang cukup sehingga kehidupan itu berjalan selaras dan harmonis (tidak penuh sesak).

Apakah bengang sebagai kearifan lokal Bali yang sudah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun di Bali, begitu saja akan dilupakan?

Jangan sampai bengang hanya tinggal cerita tanpa wujud yang diwariskan kepada anak cucu kita nanti.

Seberapa pentingkah menjaga bengang sebagai sebuah tata ruang desa, seperti yang dipesankan oleh leluhur orang Bali?

Tentu jawabannya adalah sangat penting, karena bengang sebagai tatanan dalam rangka menjaga jarak antar desa adat dan kewilayahannya. Wabah yang melanda seluruh dunia saat ini dengan virus Covid-19 memberikan pertanda bahwa bengang sebagai tempat sunyi, sepi, tidak ramai, lengang, dan sebagainya adalah tindakan social distancing yang diperlukan untuk menghentikan dan memutuskan penyebaran virus Covid-19 tersebut.

Sedemikian indah dan tertata rapi pesan leluhur kita untuk tetap menjaga bengang agar kita terhindar dari hal-hal yang merugikan kehidupan manusia. Menjaga jarak dan meniadakan keramaian (social & physical distancing) adalah penting dalam memutus sebuah wabah (sasab, gering, merana) termasuk virus Covid-19 yang saat ini sedang mewabah melanda seluruh dunia.

Mari kita sadar, disiplin dan ingat kembali, bahwa bengang itu penting dalam menjaga keamanan, keselamatan, dan kesehatan manusia sehingga keharmonisan alam bisa tetap terjaga untuk melindungi kita semua. Dalam melakukan evaluasi dan introspeksi diri, termasuk alam dengan cara koreksinya sendiri, membutuhkan ketenangan dan tempat yang sunyi sepi serta jauh dari hiruk pikuk keramaian. Bengang adalah tempat bengong untuk melakukan introspeksi diri, swaha.

Ditulis Oleh: Ida Bagus Purwa Sidemen, S.Ag., M.Si

Direktur Eksekutif BPD PHRI Bali

Post ADS 1