Pariwisata & Budaya

Nyoman Astama : 7 Protokol Menyongsong Reaktivasi Pariwisata Bali Pasca Pandemi Covid-19

Denpasar, Lintasbali.com – Pandemi COVID-19 telah menggoyahkan sendi-sendi perekonomian negara-negara di dunia, karena selain belum adanya vaksin untuk jenis virus ini, tidak ada satu negara pun yang mempersiapkan diri dan memiliki pengalaman dalam menghadapi pandemi yang berawal dari kota Wuhan, Cina tersebut.

Begitu juga di Bali yang kegiatan ekonominya ditopang oleh pariwisata sangat merasakan keterpurukan akibat dampak pandemi COVID-19 ini baik bagi industri dan pengusaha, terlebih lagi bagi pekerja pariwisata yang kesehariannya langsung berkecimpung dalam aktivitas pariwisata.

Social Distancing & Adaptasi dengan SARS-COV-2.

Sudah lebih dari 4 bulan masyarakat Bali berdiam diri di rumah sesuai arahan pemerintah untuk mengurangi bahkan memutus rantai penyebaran virus corona dengan melalukan social distancing. Social distancing merupakan suatu upaya melakukan pembatasan kontak langsung untuk mencegah penyebaran suatu penyakit menular. Penerapan social distancing meliputi:

– work from home / bekerja dari rumah
– study at home / belajar di rumah
– pray at home / ibadah di rumah
– shop from home / belanja dari rumah

Sejak World Health Organization (WHO) mengumumkan bahwa SARS-COV-2 tidak akan bisa hilang dari muka bumi sama seperti virus-virus pendahulunya, memberikan suatu sinyal bahwa kita tidak akan bisa terhindar dari virus tersebut. Pemerintah Indonesia memahami pernyataan Badan Kesehatan Dunia itu dan mengambil sikap untuk berdamai, hidup berdampingan dan beradaptasi dengan virus corona level 2 dari keluarga SARS tersebut.
Mengurangi Dampak COVID-19

Menyadari karakteristik demografi, topo-geografi dan latar belakang sosio-kultural bangsa Indonesia yang sangat beragam serta keterbatasan anggaran yang ada, sejak awal pemerintah Indonesia tidak mengambil kebijakan lockdown seperti yang dilakukan oleh beberapa negara di dunia.

Pemerintah Indonesia mengambil langkah yang disebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menyesuaikan dengan kebutuhan yang diajukan oleh kepala daerah dan disetujui oleh Menteri Kesehatan berdasarkan evaluasi data seperti peningkatan dan penyebaran kasus serta kejadian transmisi lokal, sesuai dengan Permenkes Nomor 9 Tahun 2020. Di Bali penerapannya dilakukan dengan melaksanakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) di tingkat desa, kelurahan dan desa adat dalam percepatan penanganan COVID-19.

BACA JUGA:  Gusde Wiryawan : Soliditas Internal PHRI Bali dan Koordinasi Seluruh Pihak agar Pariwisata Bali Bangkit

Simalakama: Kesehatan dan Ekonomi : Euforia untuk mengaktifkan kembali kegiatan perekonomian dalam era next normal terjadi di beberapa daerah karena telah lama mengalami stagnansi, sedangkan di sisi lain adanya fluktuasi kasus positif COVID-19 yang di beberapa daerah bahkan menunjukkan peningkatan, itu semua bagaikan buah simalakama bagi pimpinan daerah.

Menurut epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menilai next normal dapat diterapkan bila suatu daerah atau negara telah memenuhi beberapa kriteria, seperti:

1. Sosialisasi yang masif kepada masyarakat dan institusi tentang upaya pencegahan.

2. Adanya aturan pola kerja, pola pelayanan baru di tempat yang dijadikan untuk berkumpul.

3. Adanya penurunan jumlah test rate dalam 7 hari terakhir dan peningkatan cakupan testing COVID-19

4. Nihilnya jumlah kematian dalam 3 hari terakhir

Dari kriteria di atas sebagian besar dipenuhi oleh situasi di Bali, kecuali dalam kasus positif pada 7 hari terakhir ini masih menunjukkan fluktuasi peningkatan. Pemerintah Provinsi Bali sudah mengambil langkah-langkah berdasarkan situasi yang ada, apabila nantinya kegiatan pariwisata Bali direaktivasi. Beberapa di ataranya seperti tertera di bawah ini.

Peluang dalam Tantangan :

Di balik keingingan mengaktifkan dan menggerakkan kembali kegiatan ekonomi dan keuangan (monetary generation) di satu sisi dan belum pulihnya kepercayaan pasar (market trust) di sisi lain, terbersit suatu peluang dalam tantangan yang ada.

Kebijakan travel bubble yang direncanakan pemerintah adalah suatu terobosan untuk mengantisipasi sumber wisatawan mancanegara apabila kegiatan pariwisata direaktivasi. Travel bubble adalah ketika dua atau lebih negara yang berhasil mengontrol virus corona sepakat untuk menciptakan sebuah gelembung atau koridor perjalanan.

Beberapa negara yang telah melakukan travel bubble adalah Australia dengan Selandia Baru, Estionia dengan Latvia dan Lithuania. Di Asia adalah Cina dengan Singapura. Sambil menunggu keputusan 4 negara yang ditargetkan untuk travel bubble (Cina, Jepang, Korsel, Australia) Indonesia atau Bali bisa memulai dengan negara-negara ASEAN untuk kesepakatan koridor perjalanan wisata ini. Mudah-mudahan para pimpinan setingkat menteri bisa segera membuat keputusan kerjasama koridor travel bubble di antara negara-negara ASEAN dalam waktu dekat.

BACA JUGA:  QUALITY TOURISM DENGAN MENERAPKAN STANDAR USAHA PARIWISATA

7P (Tujuh Protokol) – Sebuah Pendekatan Kesiapan Industri

Dalam mempersiapkan industri Pariwisata Bali ketika Kegiatan Pariwisata Bali direaktivasi, penulis memaparkan dengan pendekatan yang berbeda namun masih berbasis pada CHSE (Cleanliness, Health, Safety, Environment) ++, yaitu:
7P (Paperless, Purity, Physical-fitness, Protection, Pliancy, Productivity, Pampering).

Salah satu contoh penerapan konsep Tujuh Protokol (7P) ini diaplikasikan dalam Verifikasi Kesiapan Tata Kelola Pariwisata Pemkab Badung Pasca Pandemi COVID-19.

Nyoman Astama, SE., MM., CHA
Praktisi Pariwisata dan Ketua IHGMA DPD Bali.

Post ADS 1