Dimana bisa ditemukan sebuah tempat yang memiliki event atau aktivitas kegiatan yang senantiasa dilakukan dengan semarak, hampir setiap minggu dalam hitungan satu tahun kalendar? Jawabannya adalah di Bali. Kenapa demikian ?
Bali, sebagai daerah yang masyarakatnya sebagaian besar beragama Hindu, kegiatan ritual dalam kaitannya sebagai umat beragama, senantiasa dilakukan oleh masyarakatnya sejak dahulu kala hingga kini. Hal inilah yang menjadikan Bali sebagai daerah tujuan wisata, tidak pernah kehabisan atraksi seni, budaya dan agama sebagai nikmatan atraksi bagi wisatawan yang berkunjung.
Bali tidak pernah berhenti dengan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakatnya sendiri. Semua aktivitas adalah wujud syukur mastyarakat Bali kepada Sang Pencipta, dengan menghormati isi alam. Tidak ada satupun aktivitas ritual yang dilakukan tersebut menguras dana pemerintah. Kehidupan perekonomian berjalan dengan baik melalui aktivitas keagamaan yang dilakukan tersebut.
Petani, peternak, pedagang, dan semua sisi bisnis berjalan akibat aktivitas ritual yang tiada henti ini. Bisa dibuktikan, bila wisatawan yang berkunjung ke Bali melalui darat, dari ujung Gilimanuk (Jembrana) hingga ujung timur pulau Bali, yaitu Karangasem, wisatawan bisa menyaksikan penjor menghiasi sepanjang jalan di Bali, dalam rangka perayaan Hari Raya Galunga. Hal ini dilakukan setiap enam bulan sekali, tepatnya setiap 210 hari.
Tidak ada aturan hebat dan kuat untuk mewajibkan masyarakat “memenjor”, kecuali oleh masyarakatnya sendiri karena diwajibkan oleh leluhurnya. Demikianlah masyarakat Hindu Bali, taat dengan aturan kegiatan dan aktivitas ritual yang diwariskan oleh leluhur Bali sejak dulu dan tetap dijaga dan dilaksanakan hingga sekarang.
Piodalan, adalah sebuah konsep luar bisa yang dibuat dan diwariskan oleh leluhur orang Bali kepada generasinya. Dengan melakukan upacara atau ritual piodalan, setiap manusia Bali wajib pulang ke tempat leluhurnya dan menjadikan manusia Bali hingga kini masih menjadi masyarakat Bali itu sendiri. Bila tidak, tentu orang Bali sudah tidak lagi tinggal di Bali, karena tidak ada kewajiban pulang merayakan piodalan. Hal ini akan sama halnya seperti orang Betawi yang terpinggirkan dan tidak lagi tinggal di Jakarta. Kenapa bisa demikian ?
Setiap perayaan, baik ditingkat keluarga kecil, keluarga besar, maupun oleh masyarakat Bali secara keseluruhan, semua perayaan adalah wujud bhakti kepada leluhur dan Ida Sanghyang Widi Wasa. Hal ini patut disyukuri karena bila orang Bali tidak menerima warisan dari leluhur seperti ini, maka Bali tidak akan memiliki keistimewaan. Segala aktivitas ritual ini menjadikan Bali terkenal sebagai daerah tujuan wisata berkelas dunia karena keunikan budayanya. Keunikan budaya Bali inilah menjadikan Bali sebagai destinasi pariwisata tidak bisa ditiru oleh daerah lainnya. Segala aktivitas manusia Hindu Bali ini menjadikan wisatawan (domestik dan manca negara) datang berkunjung ke Bali.
Konsep piodalan adalah keramaian, mengumpulkan banyak orang, pulang mengunjungi kerabat dan handai taulan, berpesta, beramai-ramai untuk sujud syukur. Demikianlan setiap manusia Bali memiliki beberapa perayaan atau hari raya, yang setiap ritual atau piodalan dilakukan dengan mengharuskan pulang agar ingat dengan leluhurnya. Inilah konsep peryaan atau event yang bingga kini dalam dunia modern ditiru dengan sebutan festival.
Tetap sama, konsepnya festival adalah mengumpulkan keramaian (crouded). Tetapi tidak ada yang bisa menandingi kehebatan konsep festival dengan yang namanya piodalan itu sendiri. Bisa dibayangkan bila di Bali tidak ada piodalan, maka Bali tidak akan ramai oleh masyarakatnya, tidak akan ramai untuk dikunjungi wisatawa. Dalam setiap 210 hari, terdapat 6 hari suci berupa Tumpek dan Anggarkasih, satu kali hari raya besar yaitu Galungan dan Kuningan, ditambah perayaan setiap Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, dsb. Semuanya bila dihitung jumlahnya puluhan.
Belum lagi ditambah perayaan pada tiap-tiap Pura Dadia, Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan, Dang Kahyangan, serta Kahyangan Tiga. Upacara lainnya seperti upacara Manusa Yajna (metatah, nganten, otonan, dsb), Pitra Yajna (ngaben atau plebon), Rsi Yajna, Bhuta Yajna serta upacara-upacara penting dalam skala besar (Pedudusan Agung, Panca Wali Krama, Ngenteg Linggih, Bhatara Turun Kabeh, dll) dan upacara-upacara dalam skala kecil lainnya. Setiap perayaan ritual ini dipastikan mengumpulkan orang banyak, dan segala sesuatunya akan berjalan sebagai mana mestinya (ekonomi, sosial, budaya, dsb).
Apa ada yang lebih hebat dari leluhur orang Bali sebagai penyelenggara event ? Sepertinya perlu kita pertanyakan. Namun yang jelas, kita harus hormati dan menjunjung tinggi apa yang menjadi warisan leluhur orang Bali. Menjadikan sebagai tandingan dengan event atau festival-festival lainnya yang ada saat ini, tentu tidak bisa karena leluhur Bali telah melakukannya sejak dahulu kala, jauh sebelum Bali dikenal sebagai daerah pariwisata. Jadi, apa ada EO yang lebih hebat dari leluhur orang Bali ?
Ditulis oleh : Ida Bagus Purwa Sidemen, S.Ag., M.Si (Dosen UNHI Denpasar)