News

Ahli Hukum: Klaim Waris AA Eka Wijaya atas Tanah dan Silsilah Jero Kepisah Tidak Memiliki Dasar Hukum Kuat

DENPASAR, lintasbali.com – Sidang lanjutan perkara dugaan pemalsuan silsilah keluarga dalam sengketa hak atas tanah antara Anak Agung Eka Wijaya (Jero Jambe Suci) dan Anak Agung Ngurah Oka (Jero Kepisah) kembali digelar di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa, 15 Juli 2025. Dalam sidang kali ini, keterangan saksi ahli yang dihadirkan pihak tergugat menjadi sorotan utama.

Dr. Made Gde Subha Karma Resen, SH., M.Kn, ahli hukum pertanahan dan administrasi negara dari Fakultas Hukum Universitas Udayana dalam kesaksiannya menjelaskan bahwa dalam konteks hukum agraria Indonesia, kepemilikan tanah harus dibuktikan melalui penguasaan fisik dan dokumen yang sah sesuai peraturan perundang-undangan.

“Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, dikenal prinsip ‘lampaunya waktu’. Artinya, hak atas tanah bisa hapus jika tidak dikuasai secara fisik dalam jangka waktu tertentu,” ujar Subha Karma di hadapan majelis hakim.

Ia merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yang mengatur bahwa penguasaan fisik tanah selama 20 tahun berturut-turut dengan itikad baik dapat dijadikan dasar pencatatan hak. Namun, lanjutnya, bukti administratif seperti pipil, petok D, atau letter C hanya bersifat pelengkap, bukan bukti utama.

“Yang utama adalah penguasaan fisik secara terus-menerus. Tanah yang ditelantarkan bisa menyebabkan hilangnya hak,” tegasnya.

Soal Silsilah dan Kepemilikan Tanah

Terkait dokumen silsilah, Subha Karma membedakan antara silsilah keluarga biasa dengan surat pernyataan silsilah yang umumnya digunakan sebagai pendukung dalam administrasi pertanahan. Namun, ia menekankan bahwa surat tersebut tidak bisa dijadikan dasar tunggal dalam pensertifikatan tanah.

“Sertifikat hak atas tanah adalah satu-satunya bukti sah kepemilikan. Silsilah keluarga, apalagi jika dibuat secara sepihak, tidak dapat menjadi dasar hukum untuk pendaftaran hak tanah,” jelasnya.

BACA JUGA:  Satgas TMMD Kodim Buleleng Serahkan Sembako, Masker dan Hand Sanitizer

Ia juga menambahkan bahwa seseorang boleh membuat surat silsilah lebih dari satu kali selama tidak ada perubahan substansi. Dalam pemeriksaan oleh jaksa penuntut umum (JPU), saksi ahli menegaskan bahwa SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) tidak memiliki kekuatan hukum dalam membuktikan silsilah.

Larangan Kepemilikan Tanah Absentee

Dalam keterangannya, Subha Karma juga menyinggung soal tanah absentee yaitu tanah pertanian yang dimiliki oleh warga yang tidak berdomisili di lokasi tanah. Menurut UUPA dan peraturan turunannya, tanah jenis ini tidak boleh dimiliki oleh orang luar daerah karena tidak sesuai dengan prinsip penguasaan langsung.

“Kepemilikan tanah pertanian oleh orang yang tinggal jauh dari lokasi melanggar asas pengelolaan langsung dan bisa menimbulkan spekulasi. Tanah harus dikelola sendiri, apalagi dalam sistem adat seperti subak dan desa adat,” ujarnya.

Tanggapan Kuasa Hukum Tergugat

Kuasa hukum Jero Kepisah, I Made Somya Putra, menilai keterangan ahli memperjelas bahwa kliennya memiliki dasar hukum yang lebih kuat dalam perkara ini.

“Saksi ahli menyatakan dengan jelas bahwa silsilah pribadi tidak bisa dijadikan dasar kepemilikan tanah. Sementara klien kami memiliki penguasaan fisik yang dibuktikan oleh surat sporadik dan dokumen pendukung lainnya,” ujarnya usai sidang.

Somya menekankan tiga hal pokok yang disebutkan ahli dalam persidangan Adanya hubungan silsilah yang sah, Bukti penguasaan fisik atas tanah, dan Kepatuhan terhadap larangan kepemilikan tanah absentee.

“Pelapor diketahui berasal dari wilayah Swapraja Denpasar, sedangkan tanah sengketa terletak di wilayah Swapraja Kuta yang berada dalam penguasaan keluarga klien kami. Ini menjadi bukti bahwa klaim pelapor tidak berdasar,” tutupnya. (Arie)

Post ADS 1