POLHUKAM

Ahli Pidana Prof. Sadjijono: Status Tersangka untuk Ngurah Oka “Prematur”

DENPASAR, LintasBali.com – I Putu Harry Suandana Putra, S.H.,M.H dan Kadek Duarsa, SH. MH. CLA, Kuasa Hukum Anak Agung Ngurah Oka (Pemohon) kembali menghadiri Sidang Praperadilan Jero Kepisah yang digelar di ruang Kartika Pengadilan Negeri Denpasar pada Kamis, 23 Pebruari 2023 dengan agenda mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan oleh Kuasa Hukum Polda Bali melalui BidKum (Termohon).

Kuasa Hukum Pemohon I Putu Harry Suandana Putra, S.H.,M.H dan Kadek Duarsa, SH. MH. CLA. menghadirkan empat orang saksi terdiri dari Prof. Dr. Sadjijono (ahli hukum pidana/Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya), Cokorda Dalem Dahana, SH, Mkn (ahli hukum Administrasi Pemerintahan/Fakultas Hukum Universitas Udayana), Dr. Made Gede Subha Karma Resen, SH, Mkn (ahli Hukum Kenotariatan dan Pertanahan/Fakultas Hukum Universitas Udayana) dan satu orang saksi fakta Anak Agung Ngurah Gede Suryawibawa (keponakan Anak Agung Ngurah Oka) yang bersaksi menguatkan pemohon Ngurah Oka sebagai pemilik tanah yang sah secara turun temurun leluhurnya.

Sementara dari Termohon dihadiri Bidang Hukum (Bidkum) Polda I Wayan Kota, SH. MH dan I Ketut Soma Adnyana, SH menghadirkan dua orang saksi ahli yaitu Prof. I Made Suwirta, Ahli Administrasi Pertanahan, Guru Besar Universitas Warmadewa dan Ahli Hukum Pidana Dr Dewi Bunga, SH., MH yang merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Dalam keterangannya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya, Prof. Dr. Sadjijono, SH.,M.Hum sebagai saksi ahli hukum pidana berpendapat penetapan tersangka oleh Polda Bali terhadap Anak Agung Ngurah Oka dari Jero Kepisah Pedungan Denpasar dinilai terlalu ‘prematur’ atau terlalu dini.

Menurut Prof. Dr. Sadjijono, pengujian sertifikat maupun silsilah terlebih dahulu harus lewat sidang perdata di pengadilan, bukan lewat pidana. Pasalnya, konsep hukum pidana itu bahwa tindak pidana sebagai suatu langkah terakhir setelah hukum-hukum lain ditempuh.

BACA JUGA:  Partai Bulan Bintang Bali Siap Advokasi Penyelewengan Bansos Covid-19

“Ini prematurlah (penetapan tersangka Ngurah Oka Jero Kepisah_red). Terlalu prematur. Artinya lahir sebelumnya. Seharusnya tidak dilakukan penyidikan dulu. Penyelidikan boleh. Menurut saya penetapan ini sangat prematur menurut saya. Penyidikan ini sah kewenangan kepolisian tapi dalam proses itu ada masyarakat keberatan atau ada pihak yang berkaitan keberatan,” papar Prof. Dr. Sadjijono, sebelumnya bertugas sebagai Bidang Hukum (Bidkum) Polda Jatim pada tahun 2007.

Prof. Dr. Sadjijono menyoroti kasus yang menimpa Anak Agung Ngurah Oka dari Jero Kepisah menyampaikan sebenarnya harus ada suatu keadaan yang disengketakan khususnya terkait silsilah. Ia mengakui setiap masyarakat punya hak, tetapi hak melekatnya yang mutlak itu belum dimiliki karena masih ada persoalan.

Prof. Dr. Sadjijono menegaskan silsilah itu konsep dasarnya harus diakui dan akan melahirkan suatu hak sehingga terlebih dahulu harus ada sengketa hak dulu secara perdata di Pengadilan.

“Harusnya Perdata dahulu karena tidak boleh hanya keyakinan dan diasumsikan. Nah bagaimana kemudian hak ini dipenuhi jika belum ada kepastian hak. Disinilah diperlukan sengketa hak dahulu terkait dengan silsilah sebelum lahir hak. Sekarang ini saling klaim punya hak, masing-masing punya hak, sebelum itu ditetapkan salah satu pemilik haknya akan lahir legal standing atau hak hukum untuk melaporkan,” tegas mantan anggota Polri dengan Dua Melati dipundak.

Ia juga berpendapat kasus pidana Ngurah Oka Jero Kepisah ini tidak akan langsung kedua belah mendapat mendapatkan hak. Untuk itulah, Prof. Dr. Sadjijono menyebut sengketakan dulu keperdataannya, kalau nanti sengketa perdata itu pelapor itu memang memiliki hak baru diteruskan agar bisa memiliki legal standing. Tanpa ada pembuktian hak diawal maka penetapan tersangka Ngurah Oka dari Jero Kepisah ‘Prematur’.

BACA JUGA:  Kapolda Bali Sebut Kasus Kriminalitas Menurun 32,66 Persen

“Semua itu masih dugaan. Buktikan dulu dong, asas hukumnya ada. Katakan ini palsu, apakah karena ini palsu ini haknya, itu tidak bisa tanpa melalui proses perdata. Pengujian sertifikat itu pembatalan karena cacat hukum dan lainnya. Terkait silsilah pengujiannya keperdataan dulu. Pengujian sertifikat maupun silsilah harus lewat sidang perdata di pengadilan,” katanya.

Sementara, Kuasa hukum Termohon dari Bidkum Polda Bali, I Wayan Kota, SH. MH. dan I Ketut Soma Adnyana, SH. MH, saksi yang dihadirkan Pemohon menyampaikan bahwa saksi yang dihadirkan pemohon lebih ke perkara pokok sebenarnya dan dianggap tidak tahu proses penyidikan maupun penyelidikan yang dilakukan Polda Bali, baik itu penetapan tersangka, penangkapan, penahanan.

“Cuman saksi yang ketiga tadi mengetahui dan mendengar bahwa pamannya dilaporkan dan diperiksa serta ditahan di Polda Bali,” jelasnya.

Wayan Kota menegaskan Polda Bali mempermasalahkan pemalsuan dalam proses pensertifikatan yang dilakukan Pemohon. Pihaknya tidak mempermasalahkan sertifikat dengan pipil sengketa, tetapi dokumen yang dipalsukan. Baginya, pemalsuan tidak ada diranah perdata karena sudah murni delik pidana.

“Kalau sengketa hak iya perdata, saya dari awal sepakat. Laporannya pemalsuan, kalau sengketa hak itu ranahnya perdata tidak bisa diuji pidana. Ini pemalsuan surat bukan masalah hak, beda. Kalau sengketa hak kita sepakat perdata, namun roses pensertifikatan yang kita masalahkan,” tegasnya.

Sidang Praperadilan yang menjadi sorotan publik dan media ini rencananya berlangsung secara maraton selama satu minggu yang dimulai pengajuan pengajuan saksi-saksi dan saksi ahli kedua belah pihak hingga kesimpulan dan keputusan Majelis Hakim yang direncanakan digelar pada Selasa, 28 Februari 2023 mendatang.

Post ADS 1