DENPASAR, lintasbali.com – Sidang lanjutan perkara sengketa lahan antara pihak Jro Kepisah dan Puri Jambe Suci kembali digelar pada Selasa, 3 Juni 2025, di Pengadilan Negeri Denpasar. Agendanya menghadirkan kesaksian dari Anak Agung Made Gde Sukadana lebih dikenal sebagai Ajik Damar yang pernah menjabat sebagai Prajuru Banjar Kepisah Pedungan periode 2007–2015.
Dalam kesaksiannya, Ajik Damar menyampaikan bahwa dirinya pernah menyerahkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) atas nama almarhum I Gusti Gede Raka Ampug kepada ahli waris, Anak Agung Ngurah Oka. Ia juga menegaskan bahwa AA Ngurah Oka berasal dari Banjar Kepisah Pedungan.
“Mereka memang berasal dari Banjar Kepisah Pedungan,” ujarnya di hadapan majelis hakim.
Selain itu, Ajik Damar mengungkapkan keterlibatan keluarganya dalam pengelolaan lahan yang saat ini menjadi objek sengketa. Menurutnya, sang ayah pernah menjadi penggarap lahan yang disebut milik keluarga besar Jro Kepisah. Ia mengaku turut membantu mengantar hasil panen sebagai bagian dari sistem bagi hasil kepada pihak pemilik lahan.
“Dulu saya ikut antar hasil panen. Kami bahkan makan bersama di sana. Sekarang sudah tidak lagi, hanya ayah saya yang masih ke sana,” katanya kepada wartawan usai sidang.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Ketua Tim Kuasa Hukum pihak Jro Kepisah, Kadek Duarsa, SH, MH, CLA. Ia menyebut bahwa berdasarkan penelusuran dan keterangan tokoh adat, leluhur dari keluarga kliennya adalah I Gusti Ngurah Raka Ampug.
“Saya pernah mendengar penglingsir Puri Jro Kepisah membaca lontar pipil yang menyebut nama Gusti Ngurah Raka Ampug sebagai pemilik tanah tersebut,” ujarnya.
Menurut Duarsa, keberadaan pura yang dirawat oleh pihak Jro Kepisah di area lahan sengketa menjadi bukti sosial penting dalam struktur adat Bali.
“Pura tersebut sejak dulu diempon dan dirawat oleh keluarga Jro Kepisah. Kami tidak menemukan catatan keterlibatan dari pihak Puri Jambe Suci dalam kegiatan keagamaan di sana,” katanya.
Meski demikian, hingga saat ini belum ada keputusan hukum yang bersifat final dan mengikat. Proses persidangan masih berlangsung, dan masing-masing pihak memiliki hak yang sama untuk membuktikan klaimnya di hadapan hukum.
Kasus ini menjadi perhatian masyarakat Bali karena menyangkut identitas, sejarah, dan hak kepemilikan berdasarkan adat dan hukum formal. Putusan pengadilan nanti diharapkan mampu memberikan kejelasan hukum dan keadilan bagi semua pihak. (Ari)