Seputar Bali

Dorongan Judicial Review UU No 1/2022 Semakin Menguat, Pajak Spa Berlebihan?

DENPASAR, lintasbali.com – Pemberlakukan UU No 1 / 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) yang dimulai diterapkan 2 tahun setelah diundangkan yakni pada tahun 2024 ini semakin meresahkan pelaku pariwisata. Karena terdapat salah satu pasal yakni Pasal 58 yang mengatur tentang pengenaan pajak Spa sebesar 40 hingga 75%.

Asosiasi pengusaha Spa (WHEA) didukung oleh IWSMA dan IWMA menginisiasi untuk mengadakan Press Conference terkait hal tersebut bertempat di Dinas Pariwisata Provinsi Bali hari Kamis, 18 Januari 2024.

Hadir sebagai pembicara adalah Kadisparda Bali Tjok Bagus Pemayun, perwakilan WHEA Akhyaruddin, Direktur LSP Spa / perwakilan WHEA, Ketua Umum DPP Association of Hospitality Leaders Indonesia (AHLI) Ketut Swabawa dan Director of Sustainability Bali Hotels Association John Nielsen.

Dalam sambutannya Tjok Bagus Pemayun menjelaskan bahwa usaha Spa dapat menjadi daya tarik wisata suatu destinasi termasuk Bali. Pihaknya telah mendapat laporan bahwa upaya Judicial Review terhadap UU No 1 tahun 2022 telah diajukan oleh asosiasi spa di Bali.

“Apalagi Bali telah mendapatkan predikat sebagai The Best Spa Destination in the World, karena Spa di Bali mengangkat kearifan lokal kita dan itu banyak dicari wisatawan. Kami harap reaksi pelaku spa di Bali terkait pajak Spa yang baru ini tetap menjaga kondusifitas wilayah destinasi kita,” kata Tjok Bagus Pemayun.

Hal mendasar topik utama kegiatan itu disampaikan oleh Akhyaruddin Yusuf yang menjelaskan bahwa adanya kekeliruan dalam UU HKPD yang memasukkan usaha Spa ke dalam kelompok hiburan umum atau rekreasi.

“Ini yang sangat keliru dan pasal 55 jelas-jelas menyebutkan Spa sebagai aktifitas hiburan yang sama seperti kelab malam, bar, diskotek, karaoke. Sebetulnya ini sudah ada sejak peraturan sebelumnya tapi mengapi Kemenparekraf yang menaungi usaha pariwisata termasuk Spa malah diam sejak dulu tidak mengajukan klarifikasi. Ada deputi khusus yang membidangi Kebijakan Strategis seharusnya bisa meluruskan regulasi yang keliru,” kata Direktur LSP Pariwisata tersebut.

BACA JUGA:  Pemkot Denpasar Terus Genjot Upaya Pencegahan Virus Corona

Ditambahkannya pula bahwa Spa di Indonesia sangat berbeda dengan di luar negeri. Kita lebih banyak mempromosikan aspek tradisi lokalnya bukan sisi hiburannya.

“Spa kita sama sekali bukan kegiatan hiburan, jika memang ada spa yang tanda kutip ada aneh-anehnya di luar sana ya silakan saja dikenakan pajak 40% atau lebih karena mereka mengutamakan sisi hiburan. Kita lebih ke Etna Prana, mengkombinasikan tradisi lokal dalam penyembuhan dan perawatan tubuh untuk kesehatan jiwa dan raga. Jadi ini keliru spa dianggap hiburan dan dikenakan pajak sangat tinggi”

Sementara Ketut Swabawa menjelaskan tiga hal dalam gilirannya menyampaikan pandangan. Yaitu motivasi, konsolidasi dan sustainability.

“Kondisi saat ini sudah ribut-ribut dimana-mana menuntut UU HKPD ditunda dan direview kembali. Momentum bagi kita untuk memperhatikan industri dengan lebih baik, melibatkan diri dalam pembangunan kepariwisataan secara aktif. Hal yang keliru kita luruskan dengan baik-baik, motivasinya harus demikian. Kedua, konsolidasi harus ditingkatkan dan dikuatkan kembali. Kami melihat ada sisi lemah antar lembaga pemerintahan dalam UU ini dimana Spa masuk kategori hiburan sementara Permenparekraf No 11 tahun 2019 tentang standar usaha Spa mendefinisikan Spa sebagai layanan perawatan dan penyembuhan melalui terapi air, rempah-rempah dan sebagainya untuk kesehatan dan kebugaran jiwa dan raga yang dikemas dengan mengangkat tradisi kearifan lokal. Nah dualisme penafsiran tentang Spa ini perlu dikonsolidasikan agar tidak keliru terus kedepannya,” paparnya.

Swabawa juga mengatakan bahwa aspek sustainability usaha pariwisata termasuk spa jangan diabaikan.

“Pajak yang tinggi akan mematikan usaha Spa yang mana karyawannya digaji rendah sesuai UMR/UMK. Di Bali spa beroperasi mengedepankan aspek budaya, tradisi dan keindahan lingkungan. Sehingga warga lokal yang banyak terserap sebagai tenaga kerja. Dampak ekonomi yang berkelanjutan ini merupakan rantai pasok yang mampu dikuatkan dari usaha Spa juga. Jadi pajak spa yang minimal 40% ini terlalu berlebihan ya dan sangat tinggi, maka tunda saja dulu UU No 1 / 2022 sambil menunggu proses akhir judicial review yang bisa saja akan berproses cukup lama,” pungkasnya.

BACA JUGA:  Desa Manistutu Jembrana 'Kandidat Gold' Pembangunan Desa Berkelanjutan Award 2024

Pada sesi akhir pandangan disampaikan oleh John Nielsen yang menyoroti bahwa kenaikan pajak akan berimbas pada jumlah kunjungan wisatawan ke Bali.

“Saya ada pengalaman teman saya yang tervonis mengidap penyakit kanker dan bisa sembuh dengan proses healing dan perawatan wellness. Spa sangat diminati, harus hati-hati menaikkan pajak karena turis bisa lari ke destinasi lain, contoh Thailand justru menurunkan biaya pajak bagi turis,” kata John dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan oleh timnya bernama Ivone. (Red/LB)

Post ADS 1