DENPASAR, lintasbali.com – Persoalan yang menimpa keluarga besar Jero Kepisah hingga saat ini belum menemukan titik terang. Berbagai upaya sudah dilakukan Jero Kepisah agar lahan seluas kurang lebih 8 hektar di Subak Kredung, Desa Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan tidak dirampas oleh oknum tidak bertanggung jawab. Tanah seluas 8 hektar tersebut merupakan tanah warisan dan hingga saat ini dikuasai secara turun-temurun oleh A. A Ngurah Oka selaku ahli waris dari alm I Gusti Gede Raka Ampug alias Gusti Ampug alias Gusti Raka Ampug.
Salah satu upaya yang ditempuh A.A. Ngurah Oka yaitu membuat pengayoman hukum dan mengirimkannya ke sejumlah lembaga maupun instansi seperti Kapolda Bali beserta jajarannya, Pangdam IX Udayana beserta jajarannya hingga ke Kapolri dan Presiden Republik Indonesia. Dan pada akhirnya, kasus ini mendapatkan atensi dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Tidak hanya ramai menjadi perbincangan di media sosial kasus yang belum menemukan jalan keluar ini juga mendapat perhatian khusus dari salah satu Ahli Hukum Adat Bali, Dr. I Ketut Wirawan, SH., M.Hum yang menyampaikan agar pihak kepolisian dalam hal ini penyidik Ditreskrimsus Polda Bali bersikap objektif, transparan dan presisi sebagaimana instruksi Kapolri.
Dr. I Ketut Wirawan menyampaikan, apabila oknum EW mengaku memiliki hak atas tanah seluas 8 hektar di Subak Kredung, yang bersangkutan harus memiliki legal standing yang jelas. Dijelaskannya, oknum EW seharusnya memiliki legal standing untuk melapor, baru laporan itu diterima kepolisian dan penyidik.
“Kalau melapor soal tanah, dia harus menunjukkan bukti atas kepemilikan tanah tersebut. Dan pengajuan bukti-buktinya harus dilakukan dengan legal. Kalau legal standingnya sudah jelas, baru ajukan secara perdata dulu. Kemudian jika jelas secara perdata legal standingnya baru lanjut mekanisme selanjutnya,” kata Ketut Wirawan saat ditemui di Denpasar pada Sabtu, 31 Desember 2022.
Dr. Ketut Wirawan menambahkan, oknum pelapor ini pertama harus memiliki legal standing yang jelas, kedua apakah memiliki keterkaitan dengan apa yang dilaporkan dan ketiga apa kerugian yang dialaminya.
“Kemudian yang dilaporkan ini harus jelas apakah itu tanah Desa, tanah Pura atau tanah milik pribadi perorangan, ini harus jelas. Apakah dia (EW) bisa membuktikannya. Itu jelas hukumnya di Bali,” imbuhnya.
Dr. Ketut Wirawan menambahkan, yang disebut warisan atau pewarisan sesuai hukum adat Bali adalah proses peralihan kewajiban dan hak (bukan hak dan kewajiban) dari satu generasi ke generasi berikutnya. Maka dari itu, siapa saja yang menjalankan kewajiban, itu saja yang menurutnya mendapatkan hak.
Khusus dalam kasus Jero Kepisah, dirinya mengatakan apakah oknum pelapor yang mengaku memiliki hak atas tanah tersebut pernah menunaikan kewajibannya atas tanah yang di klaimnya itu? Kewajiban itu antara lian yaitu pertama; kewajiban terhadap orang tua, kedua; kewajiban terhadap keluarga, ketiga; kewajiban terhadap leluhur dan keempat; kewajiban Pemerajan (tempat suci). Jika kewajiban itu sudah dijalankan, baru EW yang bersangkutan mendapatkan hak waris atas tanah tersebut.
“Gampang sekali. Coba saja tanya warga sekitar apakah oknum pelapor ini ada hubungan keluarga atau apa dengan Jero Kepisah. Bisa ditanyakan warga di sekitar Pedungan,” imbuhnya.
Dr. Ketut Wirawan juga menyinggung soal pihak-pihak yang menangani kasus Jero Kepisah ini menurutnya, sedikit tidaknya harus mengerti soal Hukum Adat Bali.
“Bagaimanapun setiap orang itu sama di depan hukum dan dipastikan kepastian hukumnya. Jangan digantung. Kalau alat buktinya tidak cukup ya tutup aja kasusnya. Buat apa repot. Dalam hal keterbukaan, jadi kita tidak bisa lagi menutup-nutupi dan merekayasa,” paparnya.
Terkait bocornya silsilah keluarga Jero Kepisah, Dr. Ketut Wirawan kembali mempertanyakan bagaimana cara oknum EW berhasil mendapatkan silsilah keluarga Jero Kepisah ini. Apakah didapatkan secara legal atau bagiamana.
“Darimana EW dapat silsilah itu. Itulah yang saya maksudkan. Dapatnya suatu alat bukti, harus didapatkan secara legal. Apa boleh kantor seenaknya membuka rahasia orang. Itu permasalahannya. Kalau itu di dapat dari BPN, BPN itu dapat di kriminalkan,” tegas Dr. Ketut Wirawan.
Menurutnya, yang dapat menentukan silsilahnya itu adalah di Desa itu sendiri yaitu perangkat Desa. Misalnya perubahan nama. Yang tahu hanya orang di Desa setempat dan sepengetahuan perangkat Desa.
“Bila perlu panggil saksi ahli dari Desa itu. Verifikasi berdasarkan kesaksian orang di Desa itu dulu baru bertindak. Cari tau juga jika tanah itu lahan kosong, coba tanya penandu (penggarap) kepada siapa penggarap itu menyerahkan hasilnya, pasti ke pemilik tanah. Siapa pemilik tanah itu, ya sudah pasti perangkat Desa itu mengetahuinya,” pungkas Dr. Ketut Wirawan. (AR)