DENPASAR, lintasbali.com – Keluhan terkait efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto banyak terjadi dimana-mana. Industri pariwisata sebagai sektor unggulan dalam menggerakkan ekonomi agar lebih memperhatikan kualitas agar tidak terpuruk dan dampak multitier yang berkepanjangan.
Hal tersebut disampaikan I Ketut Swabawa seorang praktisi pariwisata ketika dihubungi wartawan lintasbali.com Rabu, 26 Pebruari 2025. Ia berpendapat bahwa harus selalu berpikir positif sehingga melahirkan ide kreatif dan inovatif.
“Kebijakan efisiensi anggaran tentunya menciptakan persepsi macam-macam. Nah di antara pilihan persepsi negatif dan positif, mari kita selaraskan dengan industri pariwisata yang menganut hukum positivism. Bahwa kita berkarya untuk kenyamanan wisatawan dan menjadi penggerak upaya pelestarian budaya, alam, tradisi dan keberlanjutan hidup. Sehingga hantaman tantangan yang selalu ada seperti pengalaman sebelumnya harus tetap dihadapi dengan agile dan resilience. Harus kerja keras, jika tidak maka target wisman 16juta secara nasional dan 6,5juta ke Bali di tahun 2025 ini bisa gagal tercapai,” kata Swabawa, Ketua Umum DPP Association of Hospitality Leaders Indonesia (AHLI).
Swabawa mengkhawatirkan efisiensi anggaran tidak dibarengi dengan realokasi yang tepat. “Jika efisiensi akhirnya menghentikan promosi destinasi dan upaya peningkatan kualitas ya babak belur sektor industri harus berpromosi sendiri. Saya baca di media ada pemotongan anggaran di Kemenpar hingga 700 miliyar rupiah dan kita tidak tahu anggaran sekarang jadinya berapa dan alokasi untuk apa saja. Jika tidak ada program kepariwisataan yang sifatnya inovatif dari capaian sebelumnya ya bisa jadi terjadi kemunduran serta sia-sia biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama ini. Kita tunggu program pemerintah pusat yang strategis dan impactful di tengah efisiensi anggaran ini,” paparnya.
Untuk usaha pariwisata dirinya berpendapat bahwa strategi yang transformatif dapat diterapkan untuk short and mid term business. “Jika memang harus berubah ya lakukan saja, dengan analisa yang tepat sesuai potensi keunggulan yang dimiliki dan demandable tentunya. Yang selama ini handle government market dapat menggarap private sector and corporate untuk aktifitas MICE dengan paket yang lebih menarik dan sesuai tailor-made budget. Khusus di Bali untungnya overseas market kita yang dominan, sehingga dampak efisiensi pasti ada juga namun tidak sebesar seperti rekan-rekan kita di luar Bali yang menggarap domestik market khususnya kegiatan-kegiatan pemerintahan ya,” imbuhnya.
Pemerintah juga diharapkan memperhatikan multiflyer effect yang terdampak jika industri pariwisata menurun. Dijelaskannya bahwa supply chain bisnis pariwisata bersifat kompleks melibatkan multi-sectors dari aktifitas non komersial hingga multi-nasional.
“Pertanian, perdagangan, pendidikan, jasa keuangan, transportasi, ketenagakerjaan baik formal maupun non formal dan kerajinan cinderamata termasuk pekerja seni dan ekraf lainnya pasti terdampak ya. Nah jika itu terjadi, kesejahteraan dan kesehatan masyarakat dapat terganggu hingga munculnya gesekan sosial dan mental health. Sehingga faktor-faktor yang bersifat regulatif harus diambil dan diseriuskan oleh pemerintah agar efisiensi anggaran tidak terbalik menjadi ancaman ekonomi bangsa,” tegasnya.
Biaya penerbangan yang selama ini masih cukup tinggi dan kenyamanan di destinasi masih menjadi isu yang belum mendapat penanganan yang tuntas. Kemacetan, sampah, penertiban usaha atau bisnis pariwisata ilegal, pelanggaran ijin berkunjung bagi wisman serta hal negatif lainnya selama ini seperti perkelahian, pembegalan dan kriminal lainnya harus diatensi dan diselesaikan dengan baik.
“Kualitas destinasi pariwisata tanggung jawab semua pihak sesuai bidangnya. Jadi bukan dikerjakan sendiri oleh sektor pariwisata saja. Semuanya berkontribusi sehingga wisatawan lebih nyaman berwisata di Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya,” pungkas Swabawa.