DENPASAR, lintasbali.com – Proses eksekusi lahan di Perumahan Taman Sari, Jalan Imam Bonjol, Denpasar, oleh Pengadilan Negeri (PN) Denpasar berlangsung memanas.
Pasalnya, pihak termohon dalam hal ini Dony Yudianto diwakili oleh Penasihat Hukum (PH) Akhmad Sobirin, menyatakan keberatan atas putusan yang dikeluarkan oleh PN Denpasar nomor 200/Pdt.G/2019/PN.Dps dan meminta juru sita untuk menunggu hasil Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung (MA) yang diajukan oleh termohon sebelum eksekusi dilakukan pada Jumat (4/2/2022).
Saat proses eksekusi pembongkaran dilakukan, Pihak termohon melalu PH Akhmad Sobirin juga sempat menyebut adanya dugaan peran Mafia Tanah dalam proses sengketa yang memberatkan kliennya tersebut.
Menurut Akhmad, dalam sengketa tanah ini penggugat mengaku dia memiliki tanah ini dengan pengikatan jual beli, tanpa adanya kuasa jual. Setelah selang waktu beberapa minggu penggugat juga memunculkan yang namanya akta wasiat terhadap tanah yang sama.
“Disini diduga ada permainan Mafia Tanah. Di hari yang sama orang itu ngasi wasiat dan PPJB. Sementara ini kita klarifikasi ke notaris, PPJB yang disahkan pengadilan tidak terdaftar di Badan Pengawas Notaris Daerah Bali. Kita juga sudah bersurat ke BPN Kota Denpasar dan dijelaskan bahwasanya objek di sebelah ini sudah beralih ke pihak ketiga sebelum adanya gugatan,” ungkap Akhmad Sobirin saat ditemui dilokasi eksekusi.
Pihaknya juga menyebutkan, di dalam perkara pun Badan Pertanahan Negara (BPN) sudah memberikan bukti sertifikat tanah sudah beralih atas nama Liem Niko Hendrata. Menurutnya, seharusnya PN memutus ini kurang pihak.
“Jangankan Lim Niko, objek dikuasai orang lain pun harusnya ikut digugat. Apalagi ini sudah sertifikat sebelum adanya gugatan. Jadi saya sangat menyesalkan tindakan pengadilan yang tidak mau legowo untuk menunggu putusan PK yang sedang kita ajukan,” jelasnya.
Sementara itu, Panitra yang memimpin tim eksekusi dari Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Mathilda Tampubolon menjelaskan, bahwa proses eksekusi dilakukan setelah adanya putusan perkara nomor 200/Pdt.G/2019/PN.Dps, yang dalam putusan tersebut menyebutkan bahwa tergugat yang dalam hal ini Dony ataupun siapa saja yang menguasai tanah seluas 2080 meter persegi di Perum Taman Sari, Jalan Imam Bonjol, Denpasar, harus menyerahkan kepada pemohon eksekusi secara kosong. Sehingga, harus dilakukan pembongkaran terhadap bangunan yang ada di tanah tersebut atas pihak yang telah memenangkan gugatan terhadap sengketa yang terjadi.
Terkait adanya keberatan yang disampaikan oleh pihak termohon, dirinya mengatakan, pada dasarnya adanya langkah hukum dari termohon dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA) tidak menghalangi proses eksekusi yang dilaksanakan.
Menurutnya, jika memang nanti dalam proses PK membuktikan bahwa pihak termohon memenangkan gugatan tersebut, pihak pemohon harus dapat memberikan jaminan terhadap bangunan yang dibongkar, walaupun secara faktanya bangunan tersebut bukanlah milik dari termohon melainkan milik pihak ke-3 atas nama Wawan dan Arik sebagai penyewa lahan dari termohon Dony, yang juga dalam hal ini sudah diberikan kompensasi ganti rugi atas eksekusi pembongkaran yang dilakukan oleh pemohon.
“Ya mereka kan keberatan tadi karena alasan masih PK. Itu pada dasarnya tidak menghalangi proses eksekusi yang dilaksanakan, nanti apabila putusan PK itu memenangkan pihak termohon, pihak pemohon harus siap dengan jaminan terkait pembongkaran yang dilakukan dalam proses eksekusi yang dilaksanakan. Itukan kalau si termohon yang punya bangunan, ternyata saya tadi tanyakan di lapangan yang membangun itu adalah pihak ke-3, Wawan dan Ari, jadi tidak ada kaitannya dengan Dony sebagai termohon eksekusi pembongkaran bangunan ini. Apabila nanti putusan PK itu memutuskan Dony sebagai termohon memenangkan gugatan ini, ya dia kembali seperti semula, yaitu ya tanah kosong,” ungkap Mathilda.
Disisi lain, pihak pemohon dalam perkara sengketa tanah ini, Ira Chandra Wirayang, yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya HK. Kosasih menambahkan, bahwa kliennya (Ira) membeli tanah 2080 meter persegi ini dari Gunawan Hadi secara sah pada tahun 2008. Namun, tiba-tiba diakui tanah ini menjadi miliknya Doni, yang kemudian tanah tersebut dipecah menjadi dua atas nama Gunawan Hadi dan Doni.
“Inilah permasalahannya, dasarnya apa.
Kok bisa sertifikat yang sebenarnya tidak ada hilang malah dilaporkan telah hilang, kemudian diterbitkan sertifikat baru dan dibalik nama kemudian dijualbelikan kepada pihak ketiga. Inilah yang kita gugat. Digugat berdasarkan putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan mahkamah agung itu dinyatakan betul dan sah milik Ibu Ira,” papar Kosasih.
Selanjutnya, pihak termohon melalui Akhmad Sobirin menilai proses sengketa lahan hingga eksekusi yang dilakukan oleh PN Denpasar disebutnya cacat hukum. Dimana harusnya gugatannya N.O (Ontvankelijke Verklaard) atau gugatan yang mengandung cacat formil karena kurang pihak, harusnya tidak bisa dieksekusi.
“Mengapa saya katakan ini patut diduga ada keterlibatan mafia pertanahan, unsunya, dia hanya bermodalkan PPJB dan akta-akta kuasa seperti itu. Akta notaris yang mana pemilik awal ini memang sudah meninggal. Jadi saya katakan kasus ini seperti kasus Nirina Zubir, dimana pihak penggugat Ira Sandra Wirayang dulu adalah mantan pembantu dari Gunawan Hadi,” tegas Akhmad.
Saat disinggung mengenai adanya akta bodong dalam proses sengketa yang terjadi melalui PH termohon, Akhmad Sobirin. Mathilda memaparkan, pihaknya mengatakan tidak tahu menau mengenai hal tersebut, yang menurutnya hal tersebut bukan ranahnya melainkan ranah persidangan.
“Akta bodong kah, akta benar kah. Kami tidak tahu karena itu ranahnya di persidangan. Jadi itu Majelis Hakim yang punya kewenangannya,” tutup Mathilda. (Tim)