DENPASAR, lintasbali.com – Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Udayana menyatakan sikapnya terkait dengan polemik tentang tugas pokok dan fungsi Majelis Desa Adat (MDA) yang mencuat belakangan ini.
Pernyataan sikap ini disampaikan oleh Koordinator FPMHD Universitas Udayana (Unud) Komang Surya Anggreni, Jumat 8 Agustus 2025 di Denpasar.
FPMHD Unud menurut Surya Anggreni turut mencermati situasi terkini terkait tupoksi dan kewenangan MDA terhadap Desa Adat di Bali. Pihaknya juga mengkaji petisi yang disampaikan sebelumnya oleh Forum Komunikasi Bhinneka Hindu Bali, beberapa elemen, serta tokoh masyarakat lainnya.
Intinya FPMHD sepakat dan mendukung aspirasi tersebut serta mendorong tindak lanjut yang nyata dari DPRD Provinsi Bali bersama Pemerintah Provinsi Bali berdasarkan kewenangan yang dimiliki masing-masing.
Desa Adat di Bali merupakan bentuk konkret dari masyarakat hukum adat yang eksistensinya dijamin secara konstitusional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”
Dalam konteks Bali, pengakuan ini terwujud melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, yang memperkuat kedudukan hukum Desa Adat sebagai entitas yang memiliki hak tradisional dan otonomi asli dalam mengatur tata kelola sosial, budaya, dan spiritual masyarakatnya berdasarkan nilai-nilai adat yang diwariskan secara turun-temurun. Oleh sebab itu, Desa Adat memiliki posisi yang mandiri dan tidak boleh berada dalam posisi subordinat terhadap lembaga mana pun, termasuk pemerintah daerah maupun lembaga seperti Majelis Desa Adat (MDA).
MDA awalnya dibentuk sebagai forum koordinasi antar-Bendesa Adat, dengan tujuan menyatukan pandangan dan memperkuat komunikasi serta sinergi antar-Desa Adat. Namun dalam praktiknya, muncul kecenderungan penafsiran struktural yang menempatkan MDA sebagai lembaga yang memiliki otoritas di atas Desa Adat.
Hal ini tercermin dalam Pasal 49 ayat (2) dan (3) AD/ART MDA yang menyatakan bahwa “Desa Adat menyerahkan sebagian kewenangan kepada MDA,” dan “MDA melaksanakan kewenangan yang diserahkan oleh Desa Adat.”
Formulasi ini menimbulkan kontroversi karena mengaburkan batasan antara fungsi koordinatif dan kekuasaan struktural. Padahal, secara prinsip hukum adat dan konstitusi, MDA tidak memiliki kedudukan hierarkis di atas Desa Adat.
Pergeseran fungsi MDA dari forum koordinasi menjadi lembaga yang dianggap berwenang mengatur atau bahkan mengendalikan Desa Adat dapat membuka ruang bagi praktik feodalisme baru. Struktur yang semestinya bersifat horizontal dan kolektif kolegial justru berubah menjadi hirarkis, di mana beberapa oknum berpotensi memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.
Hal ini mencederai semangat kesetaraan dan partisipasi dalam tatanan adat, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan nilai demokrasi lokal. Jika tidak dikritisi dan dikoreksi, maka keberadaan MDA bukan menjadi penguat, tetapi justru melemahkan kedaulatan adat yang telah hidup lama di masyarakat Bali.
Melihat dinamika yang berkembang, revisi terhadap AD/ART MDA merupakan langkah strategis yang mendesak. Revisi ini harus dilakukan secara partisipatif, melibatkan prajuru Desa Adat, tokoh adat, dan krama sebagai pemilik sah dari tradisi dan otoritas adat.
Di sisi lain, kehadiran negara diperlukan dalam kapasitas pengawasan administratif, bukan sebagai pengintervensi substansi adat. Peran ini dapat dijalankan oleh Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (DPMA) untuk memastikan bahwa tata kelola, legalitas dokumen, dan struktur kelembagaan berjalan sesuai dengan asas kesetaraan, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak adat yang dilindungi konstitusi. Seperti disampaikan dalam kajian beberapa ahli hukum adat, pengawasan yang holistik penting agar proses hukum adat tetap selaras dengan kerangka hukum nasional tanpa menghilangkan karakteristik dan otonomi lokalnya.
“Kami Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Udayana sebagai salah satu organisasi mahasiswa Hindu di Bali, menyikapi secara serius dan menegaskan bahwa pengakuan terhadap Desa Adat sebagai institusi hukum adat yang berdaulat dan bermartabat adalah hal yang tidak dapat ditawar. Setiap bentuk regulasi, termasuk pembentukan dan penguatan MDA, harus didasarkan pada semangat kesetaraan, partisipasi komunitas adat, serta tujuan untuk memperkuat, bukan melemahkan, tatanan tradisional yang telah lama hidup harmonis dengan sistem hukum negara. Apabila struktur seperti MDA justru menimbulkan dominasi sepihak, maka bukan tidak mungkin lembaga ini berubah menjadi simbol feodalisme baru yang merusak semangat demokrasi adat dan nilai-nilai Pancasila serta UUD 1945. Karena itu, kami berdiri bersama Desa Adat untuk menjaga otentisitas, kemandirian, dan martabatnya”, pungkas Komang Surya Anggreni. (LB)