DENPASAR, lintasbali.com – Indonesia merupakan salah satu ekosistem hutan terbesar dan terpenting di dunia, menempati peringkat ketiga di dunia dalam hal luas hutan hujan tropis dan kedua dalam hal keanekaragaman hayati. Lebih dari 65% daratan negara ini, yang melebihi 125 juta hektar, ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Nasional, yang mencakup hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi di bawah yurisdiksi Kementerian Kehutanan.
Dalam pengelolaan sumber daya hutan, diperlukan pendekatan multidimensi untuk memastikan bahwa ekstraksi dan berbagai kegiatan pemanfaatan tidak dapat meminimalkan dampak tersebut dengan mempertimbangkan pembentukan lanskap, tindakan konservasi, dan kesejahteraan masyarakat.
Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, Dr. M. Saparis Soedarjanto dalam sambutanya di hari kedua pelaksanaan International Conference on Oil Palm and the Environment (ICOPE) ke-7 pada Kamis, 13 Pebruari 2025 bertempat di Bali Beach Convention, The Meru, Sanur.

Pembukaan International Conference on Oil Palm and the Environment (ICOPE) 2025 oleh Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono.
Soedarjanto mengatakan, Hutan merupakan bagian penting dari lanskap yang mengatur proses ekologi, mendukung sistem kehidupan, dan menjaga kesehatan lingkungan dengan menyediakan udara, air, dan tanah yang bersih. Hutan menyediakan ruang dan bahan untuk kegiatan manusia seperti tempat tinggal, rekreasi, dan pertanian.
Lebih jauh lagi, hutan menghasilkan berbagai macam sumber daya, termasuk makanan, bahan baku industri, energi, dan materi genetik. Selain manfaat yang nyata, hutan memberikan kontribusi bagi kesejahteraan manusia dengan menyediakan layanan yang tidak berwujud seperti pencerahan spiritual dan pengalaman estetika.
Ia menyebut, untuk mengelola kawasan hutan yang luas ini secara efektif, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Kehutanan No. 41/1999, praktik kehutanan ditujukan untuk memaksimalkan kesejahteraan manusia dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan.
“Secara historis berbicara tentang pemanfaatan hutan di Indonesia, masyarakat kita telah menghubungkan kehidupan mereka dengan hutan untuk menyediakan makanan. Pada tahun 1970-an sumber daya hutan merupakan salah satu sumber utama pembangunan nasional. Hutan dipandang sebagai entitas penting bagi pertumbuhan ekonomi, yang mengarah pada peningkatan kegiatan penebangan, dan untuk mendukung industrialisasi dan pembangunan infrastruktur,” papar Soedarjanto.
Setelah era eksploitasi ini, sebagian dari areal tebangan (LOA) dikonversi menjadi penggunaan lahan lain, seperti hutan tanaman industri dan penggunaan non-kehutanan lainnya, termasuk perkebunan kelapa sawit.
Berdasarkan Undang-Undang Kehutanan Indonesia tahun 1999, hutan didefinisikan sebagai ekosistem terpadu dalam bentang alam yang didominasi oleh komunitas pohon. Bentang alam dalam definisi sederhana adalah fitur yang tampak dari suatu wilayah lahan. Bentang alam dapat bervariasi berdasarkan komposisi penggunaan lahan dan tutupan lahannya, juga berdasarkan pengaturan spasial dan kelembagaan yang berkontribusi terhadap karakteristiknya.
Dari definisi ini, hutan dan kelapa sawit merupakan bagian dari bentang alam, keduanya harus memainkan peran penting dalam menjaga keanekaragaman hayati, mendukung ekonomi lokal dan global, menyediakan mata pencaharian melalui sumber daya terbarukan dan berbagai layanan lingkungan.
Penilaian penuh terhadap fungsi ekosistem hutan diperlukan untuk mengembangkan strategi yang efektif untuk menyediakan layanan lingkungan yang baik dan penting, seperti udara, tanah, air dan keanekaragaman hayati, dan membangun keseimbangan ekologis.
Dirinya menambahkan, perlu diketahui bahwa kelapa sawit telah dikembangkan di Indonesia sejak puluhan tahun lalu dan telah mengambil bagian yang signifikan dari penggunaan lahan di lanskap Indonesia. Langkah-langkah agroekologi harus mempertimbangkan stabilitas lanskap dan keberlanjutan sumber daya alam juga. Artinya, pengembangan kelapa sawit, seperti banyak penggunaan lahan lainnya, harus memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekonomi, sosial, dan ekologi.
“Terkait dengan tema kita hari ini tentang integrasi kelapa sawit di alam. Seperti yang kita ketahui bersama, budidaya kelapa sawit telah menjadi basis pertumbuhan ekonomi dan penyediaan mata pencaharian masyarakat. Pertumbuhan penduduk Indonesia antara tahun 2010-2020 adalah 1,25% per tahun,” paparnya.
Tingkat pertumbuhan ini lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan yang diproyeksikan dalam skenario toleran sebesar 1,18% untuk tahun 2010. Hal ini menyebabkan deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi.
“Hari ini, saya ingin membahas bagaimana kita dapat menyelaraskan manfaat ekonomi kelapa sawit dengan kebutuhan mendesak untuk keberlanjutan lingkungan,” imbuhnya.
Kuncinya terletak pada integrasi. Perkebunan kelapa sawit harus menggunakan pendekatan yang lebih holistik yang mengintegrasikan budidaya kelapa sawit dengan ekosistem alam seperti kawasan hutan.
Hal ini dapat dicapai melalui sistem agroforestri yang menggabungkan kelapa sawit dengan tanaman produktif lainnya, dan konservasi keanekaragaman hayati seperti membangun koridor satwa liar untuk menghubungkan petak-petak hutan yang terfragmentasi. Hal ini akan memungkinkan satwa liar untuk bergerak dan memastikan aliran gen, sehingga menjaga keseimbangan ekologi.
Integrasi Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (HCVF) ke dalam budidaya kelapa sawit dari perspektif Kementerian Kehutanan dipandang sebagai langkah yang bertanggung jawab untuk memastikan praktik pengelolaan berkelanjutan yang menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dengan pertimbangan lingkungan dan sosial.
HCVF, pada hakikatnya, harus dikembangkan dengan pengakuan bahwa hutan memiliki nilai ekologi, sosial, atau budaya yang unik yang menjadi fokus perhatian dan perlindungan khusus. Nilai-nilai ini memiliki berbagai manfaat, seperti konservasi keanekaragaman hayati, pengaturan air, penyerapan karbon, dan signifikansi budaya bagi masyarakat setempat.
“Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa integrasi hutan dan kelapa sawit memerlukan perencanaan yang cermat dan mempertimbangkan faktor-faktor relevansi seperti jenis tanah, iklim, dan keanekaragaman hayati setempat. Hal ini juga memerlukan pemantauan dan evaluasi berkelanjutan untuk menilai efektivitas strategi ini dan membuat penyesuaian yang diperlukan,” paparnya.
Mengintegrasikan budidaya kelapa sawit dengan ekosistem hutan menawarkan jalur menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. Dengan merangkul praktik-praktik pelestarian keanekaragaman hayati ini, dan mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan, dapat memanfaatkan manfaat ekonomi kelapa sawit dan sekaligus menjaga lingkungan kita untuk generasi mendatang.
Pihaknya ingin menyoroti isu penting tentang pengelolaan berkelanjutan; harus memastikan bahwa sumber daya alam dikelola dengan kolaborasi yang kuat dan aktif di antara para pemangku kepentingan dan masyarakat.
Integrasi badan usaha kehutanan dan kelapa sawit, bukan hanya pilihan strategis tetapi juga mutlak diperlukan untuk mencapai pengelolaan lanskap berkelanjutan dan pengembangan mata pencaharian berkelanjutan.
“Saya sangat mengharapkan hasil ICOPE 2025 sebagai cara strategis bagi industri kelapa sawit dalam membawa kondisi lingkungan yang lebih baik, ketahanan ekonomi, menciptakan lapangan kerja hijau, meningkatkan pendapatan dan meningkatkan ketahanan pangan dan air. Ini membantu keanekaragaman hayati untuk pulih dan mengurangi emisi karbon besar-besaran ke atmosfer juga,” pungkasnya. (LB/Arie)