Denpasar, Lintasbali.com – Hari-hari suci Hindu di Bali sebagian besar dipengaruhi oleh hitungan kalendar Jawa Kuna dan/atau Bali Kuno. Hitungan dalam setiap kalendar disebut wuku, dimana umur setiap wuku adalah 7 hari dengan jumlah sebanyak 30 wuku. Maka dari itu, dalam setiap satu kali perputaran kalendar Bali adalah 30 wuku dikalikan 7 hari (minggu), totalnya adalah 210 hari. Setiap 210 hari sering juga di sebut dengan enam (6) bulan Bali.
Banyak dari umat Hindu Bali, terutamanya dari kalangan generasi muda (generasi millennium), mungkin ada yang belum memahaminya dengan baik. Kenapa ada sebanyak 30 wuku dan setiap wuku umurnya 7 hari?
Perhitungan wuku dimulai atau diawali pada setiap hari Redite (hari Minggu), serta apa makna dari masing-masing wuku tersebut? Seperti pada hari Minggu ini, 28 Juni 2020 adalah awal dari Wuku Watugunung. Apa dan siapa Watugunung itu? Kenapa juga tokoh Watugunung itu disebut sakti dan akhirnya runtuh?
Hari suci yang jatuh pada Wuku Watugunung, didasarkan suatu cerita (epos dan ethos), sehingga dapat memunculkan suatu karakter yang kuat dan keras, bahwa tokoh seorang yang disebut Sang Watugunung memiliki kesaktian yang luar biasa.
Dikisahkan bahwa tokoh Sang Watugunung adalah seorang anak raja dari Kerajaan Sinta. Pemimpin atau raja/ratu dari kerajaan Sinta tersebut bernama Dewi Sinta. Watugunung adalah seorang anak raja yang nakal sekali.
Diceritakan pada suatu hari karena saking nakalnya Sang Watugunung, mengakibatkan kemarahan ibunya yang luar biasa, hingga kemudian memukul kepala Sang Watugunung. Akibat hukuman yang diterima yaitu dipukul oleh ibunya, kemudian Sang Watugunung pergi dari kerajaan Sinta menuju ke hutan di sebuah gunung.
Watugunung melakukan tapa brata, memohon kesaktian. Setelah sekian lama melakukan tapa, kemudian turunlah Bhatara Brahma membangunkan Watugunung dari tapanya dan memberikan penganugerahan berupa kesaktian kepadanya.
Singkat cerita kemudian, atas kesaktian yang dimilikinya, Watugunung membangun sebuah kerajaan bernama Watugunung. Watugunung dikenal sebagai seorang raja yang maha sakti dan ditakuti oleh kerajaan-kerajaan lainnya.
Untuk memperlebar daerah kekuasannya, Watugunung kemudian mulai melakukan perang, menyerang kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk dikuasai. Kerajaan-kerajaan yang diserang oleh Watugunung dan pasukannya semua terkalahkan seperti, kerajaan Landep, kerajaan Ukir, kerajaan Kulantir, termasuk kerajaan Sinta. Bahkan kerajaan Sinta yang ditaklukannya, tidak diketahui bahwa rajanya yaitu Dewi Sinta adalah ibunya sendiri.
Karena sama-sama tidak mengetahui diantara ibu dan anak, maka diambillah Sang Dewi Sinta sebagai istri oleh Watugunung. Melihat kecantikan yang luar biasa dari Dewi Sinta, menjadikan Watugunung sangat ingin sekali untuk memperistrinya. Lama baru disadari oleh Dewi Sinta bahwa Watugunung yang telah menaklukan kerajaannya adalah anaknya sendiri.
Mengetahui hal ini, karena hendak diperistri oleh Watugunung, maka Dewi Sinta mensyaratkan agar Watugunung mempersunting juga istri dari Bhatara Wisnu sebagai madunya, sebagai bukti akan cintanya. Hal ini dianggap mudah oleh Watugunung dan langsung pergi ke Wisnu Loka menghadap Bhatara Wisnu untuk mempersunting istri beliau.
Disini nampak kebodohan dari Watugunung, bahwa Watugunung merasa yakin dengan kesaktiannya hingga Bhatara Wisnu akan takut dan menyerahkan istrinya untuk dipersunting. Melihat keinginan Watugunung yang dianggap aneh dan menghina ini, maka Bhatara Wisnu murka dan mengajak Watugunung berperang. Pertempuran antara keduanya mengakibatkan perang tanding yang tidak berkesudahan, sangat lama karena antara Watugunung dan Bhatara Wisnu sama-sama sakti.
Mengetahui kesaktian Watugunung merupakan anugerah dari Bhatara Brahma, tidak mudah untuk dikalahkannya maka Bhatara Wisnu meminta bantuan dan petunjuk kepada Begawan Sukra.
Begawan Sukra atas bantuan muridnya yaitu Begawan Lumanglang diminta untuk melakukan penyelidikan tentang kesaktian Watugunung. Begawan Lumanglang berhasil melakukan penyelidikan, dan mengetahui rahasia kelemahan Watugunung. Kemudian menyampaikan hasil penyelidikannya kepada Begawan Sukra kelemahan dari Watugunung.
Bahwa Watugunung hanya bisa dikalahkan oleh kekuatan Bhatara Wisnu dengan wujud “KURMA” atau sebangsa penyu. Hal ini disampaikan oleh Begawan Sukra kepada Bhatara Wisnu. Mengetahui kelemahan Watugunung ini, akhirnya Bhatara Wisnu menantang Watugunung untuk berperang kembali. Bhatara Wisnu berubah wujud menjadi Kurma, dan seketika itu juga Watugunung tersungkur kalah.
Kekalahan Watugunung dan tersungkur rubuh ke bumi tepat terjadi pada hari Redite Kliwon Watugunung. Maka hari pada saat rubuhnya Watugunung disebut juga hari Watugunung Runtuh atau hari Kajeng Kliwon Pemelas Tali atau sering juga disebut Kajeng Kliwon Enjitan.
Atas kekalahan dalam perang tanding tersebut, Watugunung memohon kepada Bhatara Wisnu bila jasadnya jatuh di tengah samudera agar diberikan sinar matahari yang terik, agar jasadnya tidak kedinginan. Demikian juga bila jasadnya jatuh di daratan, memohon untuk diberikan hujan agar jasadnya tidak kekeringan.
Dari cerita epos inilah juga menjadi ajaran leluhur orang Bali, bahwa kalau dalam kurun waktu wuku Watugunung tidak pernah turun hujan maka di yakini Watugung jatuh di tengan samudera. Demikian juga sebaliknya, bila dalam kurun waktu wuku Watugunung terjadi hujan maka diyakini Watugunung jatuh di daratan.
Dalam kurun waktu selama wuku Watugunung, setelah hari Redite (Minggu) Watugunung kalah dan jasadnya jatuh ke bumi, kemudian pada keesokan harinya, yaitu Soma Umanis Watugunung meninggal, dan hari ini disebut dengan hari Candung Watang.
Watang dalam bahasa Bali berarti mayat atau jasad. Pada hari berikutnya yaitu Anggara (Selasa) Paing Watugunung, jasad Watugunung diseret (mepaid) oleh Bhatara Wisnu, dan hari Anggara Paing Watugunung juga disebut hari Paid-paidan.
Namun karena kesaktian yang dimiliki oleh Watugunung, maha sakti, hingga tubuhnya yang sudah meninggal belum sepenuhnya mati. Pada keesokan harinya, yaitu hari Buda (Rabu) Pon Watugunung, jasad Watugunung menggeliat dan kembali sadar. Maka demikian hari Buda Pon Watugunung disebut juga Buda Urip.
Melihat bahwa Watugunung hidup kembali, kemudian Bhatara Wisnu segera membunuhnya kembali. Keadaan dimana Watugunung dalam keadaan hidup, kemudian mati, hidup lagi, dibunuh hingga mati lagi, menjadikan Sang Sapta Rsi merasa iba dan kasihan kepada Watugunung.
Beliau mengadakan pembicaraan dan memohon agar para Rsi menghidupkan Watugunung kembali. Setiap Watugunung hidup lagi, kembali dibunuh oleh Bhatara Wisnu. Demikian satu demi satu oleh para Rsi yang menghidupkan Watugunung dengan mantra pengurip-nya, dari Begawan Redite dengan lima (5) mantranya, Begawan Soma dengan empat (4) mantranya, Begawan Anggara dengan tiga (3) kali mantranya, Begawan Budha dengan tujuh (7) kali mantranya, Begawan Wrhaspati dengan delapan (8) kali mantranya.
Hingga tiba giliran dari Begawan Sukra untuk menghidupkan kembali Watugunung, beliau memohon kepada Bhatara Wisnu agar bertindak welas asih dan memberi pengampunan kepada Watugunung. Atas ijin dan pengampunan yang diberikan oleh Bhatara Wisnu, kemudian Begawan Sukra menghidupkan kembali Watugunung dengan mengucapkan sebanyak enam (6) kali mantra pengurip-nya.
Hari dimana Watugunung dihidupkan kembali yang jatuh pada hari Wrhspati (Kamis) Wage Watugunung disebut dengan hari Penegtegan (tegteg artinya sadar) atau Urip Kalantas (hidup kembali). Mulai saat hari itulah kesombongan dan kesaktian Watugunung pudar dan sirna untuk selamanya.
Maka pada keesokan harinya, pada hari Sukra Kliwon Watugunung, Sang Watugunung kemudian melakukan tapa brata yoga samadhi (penyucian diri), memohon pengampunan serta memohon ke-pradnyan kepada Ida Sanghyang Widi Wasa.
Hari Sukra Kliwon Watugunung ini, dimana Watugunung mulai melakukan penyucian diri ini disebut dengan Pengeredanan. Karena keteguhan tapa bratanya maka Watugunung pada keesokan harinya diberikan dan dianugerahkan ilmu pengetahuan oleh Dewi Saraswati, sakti (istri) dari Bhatara Brahma. Tepat hari dianugerahkannya ilmu pengetahuan ini kepada Watugunung, yaitu hari Saniscara (Sabtu) Umanis Watugunung, disebut dengan hari Saraswati.
Demikianlah, kalo dirunut kembali melalui epos ini bahwa selama kurun waktu wuku Watugunung ini (7 hari), sejak dimulai pada hari Redite (Minggu) 28 Juni 2020 hingga Saniscara (Sabtu) 4 Juli 2020 nanti adalah merupakan kurun waktu atau hari yang penuh makna – kekuatan yang maha sakti, sacral, tenget – yang perlu disimak dengan baik.
Saat keruntuhan Watugunung, cerminan bahwa segala kesombongan dan kebodohan berakibat bencana. Hendaknya umat manusia bisa mengambil hikmak dari perjalanan Sang Watugunung, sekaligus sebagai cerminan dan refleksi diri untuk mulat sarira, bahwa kesombongan tidak akan membuahkan karma baik, justru akan berakibat buruk kepada diri sendiri.
Segera sadari bahwa sepanjang hidup menjadi manusia, hendaknya harus tetap belajar untuk mengisi diri dengan berbagai ilmu pengetahuan untuk bisa hidup dalam persaingan dunia yang serba bergerak cepat. Kesombongan tidak akan memberikan manfaat apa-apa kecuali akan berakibat keterpurukan bahkan keruntuhan seperti kesombongan Watugunung karena merasa sakti.
Watugunung yang maha sakti pun gugur karena kesombongannya sendiri. Pergunakan kesaktian, tepatnya saat ini disebut keahlian (ke-pradnyan-an) diimbuhi dengan sikap teguh dan kuat berpegang pada etika dan berbudi luhur untuk membangun diri, keluarga, dan masyarakat maka kehidupan ini akan bermanfaat untuk kita semua dan terwujud kesejahteraan bagi umat manusia di muka bumi ini.
Ditulis oleh : Ida Bagus Purwa Sidemen, S.Ag., M.Si
Dosen Program Studi Pendidikan Agama
Fakultas Pendidikan – Universitas Hindu Indonesia Denpasar