Denpasar, Lintasbali.com – Dalam setiap perayaan sebuah kemenangan – perayaan kemenangan apapun itu – biasanya salah satu atribut yang dipakai sebagai simbol kemenangan tersebut bisa berupa suatu benda seperti bendera (pataka), tropi (piala), umbul-umbul (lelontek), tombak (tumbak), dan sebagainya. Biasanya benda atau alat ini dibuat dengan ukuran tertentu. Bisa tinggi menjulang (umbul-umbul atau lelontek), besar (bendera atau pataka), atau sesuatu yang kuat bahwa benda tersebut unggul, kokoh, kuat, tinggi, besar, dan sebagainya. Tujuannya untuk menyampaikan pesan bahwa yang diraih dengan simbol benda tersebut tidak tertandingi (pemenang). Demikian juga halnya dengan Penjor, sebagai sebuah simbol perayaan kemenangan dalam setiap perayaan hari raya Galungan bagi umat Hindu di Bali.
Penjor bagi umat Hindu di Bali merupakan simbolis pemujaan bagi para Dewa yang berstana di gunung (Gunung Agung). Bagi umat Hindu di Bali, Gunung Agung atau tempat tertinggi diyakini sebagai tempat ber-stana-nya para Dewa. Sebuah penjor bentuknya menjulang tinggi, berbahan bambu berisikan hiasan dari bahan lainnya. Selain tinggi, penjor dibuat sedemikian rupa sehingga memberikan daya tarik tersendiri.
Penjor biasanya dibuat dalam setiap rangkaian upacara umat Hindu di Bali. Yang paling populer, penjor dibuat dalam rangka menyambut hari raya suci Galungan, setiap 210 hari sekali. Dari ujung barat hingga ujung timur dan dari ujung utara hingga ujung selatan pulau Bali penuh dengan hiasan penjor pada saat perayaan hari suci Galungan.
Apa dan kenapa masyarakat Hindu Bali membuat penjor (memenjor)? Apa maknanya? Bagaimana dengan hadirnya penjor hias yang semarak saat ini, terpajang pada beberapa daerah di Bali?
Penjor dibuat dengan bahan dasar utama sebuah batang bambu. Kenapa dipilih bambu?
Bambu dalam sebuah penjor merupakan perlambang dari Sang Hyang Mahesora. Bambu merupakan sebuah material alamiah yang memiliki fungsi dan kegunaan banyak sekali dalam kehidupan manusia. Bahkan dari cara hidup dan tumbuhnya bambu sudah istimewa. Tanaman bambu biasanya hidup berkelompok atau berumpun. Bambu tidak bisa hidup sendiri. Akar bambu akan menjadi pijakan utama, maka dari itu biasanya bambu yang sudah berakar kuat baru akan tumbuh batang-batang bambu yang menjulang tinggi. Ini memberikan arti bahwa bambu bisa dijadikan cerminan hidup bagi sebagai makhluk hidup bahwa kita harus memiliki dasar yang kuat. Bila dasar hidup ini sudah kuat, maka akan tumbuh menjadi makhluk yang kuat dan kokoh.
Bambu yang dipilih sebagai bahan utama penjor adalah bambu yang tinggi dan pada ujung atasnya melengkung kebawah. Ini juga sebagai cerminan bahwa semakin tua usia manusia diharapkan semakin bijak. Ibarat pepatah seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Ruas bambu adalah cerminan tahapan hidup manusia, dari bayi, kecil, anak-anak, remaja, dewasa, tua hingga uzur, diharapkan semakin berusia lanjut semakin bijak dalam menjalani kehidupan.
Bahan hiasan lainnya adalah janur, atau daun kelapa yang masih muda. Bahan lainnya juga bisa dari daun pohon aren atau enau. Dibali disebut daun ambu (don jaka). Kenapa dipilih janur atau ambu? Janur adalah simbolis dari Sang Hyang Mahadewa. Tanaman kelapa adalah tanaman yang bisa tumbuh dimana saja. Baik di daerah pesisir (pantai), daratan, bahkan di pegunungan. Daun pohon kelapa, terutama yang masih muda (janur) bisa berfungsi bermacam-macam.
Dari hiasan biasa hingga dekorasi sebuah acara besar serta sebagai bahan pembungkus makanan dan bisa dibentuk sesuai keinginan manusia. Hiasan janur pada penjor dibentuk menjadi hiasan polong-polongan (bulat) yang menghiasai punggung penjor dan reringitan yang menyerupai bulir padi, diikatkan pada sepanjang batang bambu dari bawah hingga ujung bambu pada bagian atas. Serta pada bagian bawahnya janur atau ambu dibuat sedemikian rupa menjadi hiasan besar dan dominan. Hiasan janur atau ambu ini dibuat melingkar sehingga terbetuk hiasan menyerupai hiasan ratusan batang tombak atau keris.
Disamping janur, bagian dari pohon kelapa lainnya yaitu buah kelapa juga dipakai pada hiasan penjor Galungan. Buah kelapa ini merupakan simbol suci dari Sang Hyang Rudra. Buah kelapa, baik yang muda maupun yang sudah tua, banyak sekali menfaat dan fungsinya, sebagai bahan makanan hingga obat-obatan. Sehingga hiasan penjor berbahan dari pohon kelapa (janur dan buah kelapa) merupakan simbolis bahwa hidup menjadi menusia hendaknya bermanfaat bagi kehidupan itu sendiri. Jangan justru menjadi penghalang atau menjadi makhluk yang tidak berguna di dunia ini. Berbuat baik adalah tuntunan untuk menjadi makhluk yang bermanfaat bagi semua makhluk hidup.
Daun palawa atau endongan, sebagai hiasan pada bagian bawah janur yang melingkar pada bagian bawah penjor merupakan simbolis suci dari Sang Hyang Sangkara. Daun palawa atau endongan ini biasanya diambil dari daun yang tumbuh disekitar pekarangan rumah (rumah adat Bali). Menjadi daya tarik tersendiri karena hiasan daun palawa atau endongan ini tampil dengan warna-warni (ungu, merah, kuning, hijau, dan sebagainya).
Pada penjor Galungan juga berisikan rangkaian hiasan berupa tanaman batang tebu. Tebu merupakan simbol dari Sang Hyang Sambu. Ruas tebu dan manisnya rasa yang dihasilkan dari batang tebu, merupakan simbol tahapan hidup manusia dan hendaknya selalu berbuat baik adalah kunci utama menjalani kehidupan ini sehingga yang dijalaninya berbuah manis (kebahagiaan).
Yang tidak kalah penting dan menjadi ciri khas tersendiri, pada penjor Galungan terdapat hiasan dari pala bungkah, pala gantung, dan padi. Semua ini merupakan sumber kehidupan manusia yang sangat penting bahkan utama. Semua bahan ini merupakan simbol dari Sang Hyang Wisnu. Padi merupakan simbolis dari Sakti-nya Dewa Wisnu yaitu Dewi Sri. Wisnu sebagai pemelihara kehidupan di dunia ini, memberikan berkahnya melalui tumbuh-tumbuhan berupa pala bungkah dan pala gantung serta padi. Tanaman sebagai sumber kehidupan manusia ini, dibudidayakan dan dihasilkan oleh manusia kemudian dijadikan sebagai persembahan dan wujud syukur atas apa yang dinikmatinya pada saat merayakan hari kemenangan, yaitu hari suci Galungan.
Sumber makanan lainnya yang sudah merupakan makanan olahan, seperti jajanan, juga menjadi penghias penjor Galungan. Jajanan ini, biasanya adalah jajanan Bali seperti jaja begina, jaja uli, satuh, iwel, kaliadrem, dan bentuk jajanan yang lainnya. Jajanan pada hiasan penjor Galungan ini merupakan wujud dan simbol suci Sang Hyang Brahma. Pada hiasan selain berbahan tanaman dan yang alami lainnya, juga terdapat hiasan berupa kain putih kuning yang diikatkan pada bagian atas penjor. Biasanya kain putih kuning ini juga dihiasai dengan hiasan berupa lukisan Acintya atau huruf suci Ongkara. Hiasan dari bahan kain berwarna putih dan kuning ini merupakan simbol suci dari Sang Hyang Iswara.
Yang menjadikan penjor Galungan ini berbeda dari penjor-penjor lainnya, adanya tempat banten penjor yaitu Sanggah Arda Chandra. Pada Sanggah Arda Chandra, juga berbahan bambu dan dilengkapi dengan hiasan lamak dan gantung-gantungan merupakan simbolis dari Sang Hyang Siwa. Banten atau upakaranya merupakan simbol dari Sang Hyang Sada Siwa dan Parama Siwa.
Jadi penjor Galungan merupakan simbol dan stana para Dewa (Dewata Nawa Sanga) dalam merayakan hari suci kemenangan. Kemenangan yang senantiasa kita perjuangkan setiap hari dirayakan pada puncak kemenangan tersebut yaitu pada hari raya Galungan. Makanya pada hari Galungan juga disebut sebagai hari rahinan jagat atau hari kemenangan semua makhluk hidup (bhuwana alit) dan semesta alam serta jagat raya ini (bhuwana agung).
Bagaimana halnya dengan penjor Galungan yang dibuat dan dipenuhi dengan berbagai hiasan semarak, berkesan mewah dan mahal, yang saat ini banyak dibuat dan dipajang oleh masyarakat di Bali menjelang hari suci Galungan. Apakah penjor tersebut dibenarkan? Menurut penulis, sepanjang penjor yang dibuat tetap mengikuti ketentuan dan berisikan materi seperti penjelasan penjor Galungan di atas, tetap diperbolehkan. Masalah hiasan yang berkesan mewah bahkan ada yang bilang buang-buang uang, merupakan bentuk rasa senang yang memunculkan kebahagiaan bagi pembuatnya.
Penjor ini juga bisa disebut atau juga merupakan simbolis kemenangan. Tidak ada uang yang dibuang, karena uang yang dipakai membuatnya justru menjadi penggerak ekonomi bagi masyarakat pengerajin penjor dan masyarakat lainnya. Sepanjang tidak ada pemaksaan atau keharusan membuat penjor besar dan mewah dipenuh hiasan, dibuat sesuai kemampuan, maka semuanya bisa dibenarkan.
Setiap penjor yang dibuat dalam rangka merayakan hari suci Galungan, dengan memenuhi persyaratan dan berisikan ketentuan kelengkapan penjor seperti penjelasan diatas, maka penjor tersebut merupakan penjor Galungan. Penjor Galungan bermakna sebagai wujud syukur, bhakti, kebahagiaan, kemenangan, dan sekaligus simbolis tempat atau stana dari para Dewata Nawa Sanga dalam menyambut kemeriahan umat Hindu di Bali untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma.
Ditulis oleh : IB. Purwa Sidemen, S.Ag.,M.Si
Dosen Program Studi Pendidikan Agama
Fakultas Pendidikan – Universitas Hindu Indonesia Denpasar