Denpasar, Lintasbali.com – Begitu banyak polemik yang dimunculkan oleh pihak-pihak tertentu terkait penyelenggaraan tradisi keagamaan khususnya oleh mereka para netizen yang hanya bermodalkan kuota internet dan kemampuan meng-copypaste-kan sesuatu. Mereka tidak mempertimbangkan aspek dampak yang tentunya mereka sendiri tidak bisa kontrol.
Ketut Swabawa, Wakil Ketua DPD IHGMA Bali saat dihubungi melalui sambungan telepon mencontohkan pada tradisi di hari suci Tumpek Landep ini. Menurutnya, cukuplah kita jangan membahas hal yang telah berubah (dimana sebenarnya yang merubah ya manusia itu sendiri juga). Setiap orang punya keyakinan, dan di Bali kita mengenal yang namanya Desa-Kala-Patra, pertimbangan tempat, waktu dan situasi/kondisi.
Sebagai seorang praktisi atau profesional dan bukan seorang ahli agama, Swabawa memaparkan Tumpek Landep di era revolusi industri 4.0 ini dan juga dikaitkan dengan situasi terkini dimana semuanya telah melalui masa pandemi COVID-19 dan sedang menuju era adaptasi kehidupan baru di semua dimensi.
Fakta yang kita hadapi selama ini dan kedepannya bahwa ilmu pengetahuan dan keahlian seseorang sangat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan di alam semesta ini. Jangankan pada bidang pekerjaan, pada kehidupan pribadi pun kita sekarang ini dituntut untuk “mencari tahu” dan mesti ahli beberapa hal.
Membuat bangunan yang praktis dari baja ringan, memilih belanja secara online yang lebih praktis, memanfaatkan teknologi informasi dalam berkomunikasi jarak jauh, atau hal sederhana saja : menanam pohon di halaman rumah yang sempit agar lingkungan tetap sejuk, segar dan nyaman. Semua itu butuh pengetahuan yang belum tentu harus didapatkan dalam pendidikan formal, dengan diberitahu oleh teman pun atau dari acara TV maka kita sudah mendapatkan pengetahuan.
Tentu pembaca memiliki pendapat dan contoh yang lebih banyak lagi tentang hal itu. Swabawa menambahkan, tumpek landep merupakan wujud persembahan kepada Ida Sang Hyang Pasupati sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa ketika Beliau memberikan restu dan anugerah penguatan atas segala ilmu pengetahuan yang Beliau telah turunkan di dunia ini pada 14 hari sebelumnya, yakni pada hari suci Saraswati.
Selama waktu tersebut, manusia mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang diperolehnya dalam kesehatan (banyu pinaruh), aktifitas ekonomi seperti berniaga (coma ribek) serta mengelola pendapatan dari aktifitas ekonomi tersebut (sabuh mas).
Secara pribadi, Ketut Swabawa mendefinisikan Pagerwesi sebagai rangkaian setelah hari-hari suci tersebut sebagai media pematangan atau “ngemagehang” (pager / pageh : mengikat, kuat) keseluruhan rangkaian anugerah dari Sang Pencipta sebagai bentuk syukur kepada Ida Sang Hyang Pramesti Guru.
Setelah itu, hari ini Saniscara Kliwon Wuku Landep, Sabtu (18/7) kita merayakan hari suci Tumpek Landep, saatnya merayakan “kelulusan” atas pencapaian ilmu pengetahuan dan manusia dihimbau untuk menjaga dan meningkatkannya. Proses peningkatan (improvisasi) melalui penajaman (ngelandepang) ilmu pengetahuan, daya pikir serta hal-hal yang mendukung upaya manusia menuju kesejahteraan.
Ketika manusia mulai terbuka wawasannya tentang teknologi mekanis, maka hasil cipta karsa manusia seperti kendaraan dipandang sebagai suatu pencapaian, sehingga disyukuri dengan menghaturkan yadnya sesuai kemampuan. Berbeda sebelumnya ketika manusia baru berhasil membuat alat dan senjata tajam, saat itu baru alat seperti itu yang disyukuri sebagai bentuk penciptaan oleh manusia sebagai upaya untuk mendukung kesejahteraannya, seperti pisau untuk memotong bahan makanan atau alat untuk membuat kerajinan yang akhirnya bisa dijual sehingga memiliki pendapatan untuk kehidupan keluarganya.
Dibalik semua itu, di era sekarang mungkin sebuah moment dimana kita disadarkan pada kenyataan bahwa semua itu berawal dari pengetahuan dan keahlian manusia didorong oleh niat dan kemampuan untuk menerapkannya menjadi sebuah cipta – rasa – karsa.
Maka, mari kita fokuskan rasa syukur kita pada ketajaman pikiran agar senantiasa dapat berbuat positif seperti di antaranya : 1). Mencari solusi dalam setiap masalah (misal seperti COVID-19 ini) ; 2). Melakukan inovasi yang kreatif (bersifat agility di era revolusi industri ; 3). Menciptakan kehidupan yang harmonis sesuai konsep Tri Hita Karana : parhyangan, pawongan, palemahan (demi keberlangsungan alam semesta beserta segala isinya); dan karya cipta lainnya baik berupa pemikiran dan tindakan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“kita tidak perlu mempermasalahkan hal yang belum tentu kita sudah pahami. Tetapi bersyukurlah akan apa yang telah diperoleh serta berbuatlah sesuatu demi masa depan yang lebih baik”, kata Ketut Swabawa seorang Praktisi dan Akademisi Pariwisata di Bali. (Red)