News

Kakek di Denpasar Tak Terima Dijadikan Tersangka atas Lahan yang Dimilikinya

DENPASAR, lintasbali.com – Pasca ditetapkannya Made Sutrisna sebagai terdakwa terkait polemik sengketa tanah 32 are di Perempatan Jalan Cokroaminoto Ubung, Denpasar Bali, yang juga diketahui tanah tersebut adalah milikinya, kakek 76 tahun tersebut mengaku tidak terima atas status tersangka atau terdakwa yang disematkan pada dirinya serta menganggap bahwa negara telah menzoliminya atas sengketa yang terjadi.

Saat ditemui disela-sela sidang tipiring yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Sudirman, Denpasar, pada Rabu (23/3/2022) pagi, Made Sutrisna mengungkapkan bahwa dirinya tak terima dijadikan tersangka, menurutnya dirinya merupakan pemilik sah dari tanah 32 are di Perempatan Jalan Cokroaminoto Ubung, Denpasar Bali, berdasarkan sertifikat hak milik (SHM) No 3395.

Apalagi putusan pidana No.44/Pid/1966 menurut Made Sutrisna sudah memiliki kekuatan hukum tetap dan inkrah. Terdapat putusan Pengadilan Tinggi (PT), No.27/1966/PT/Pdn dan berdasar Putusan Mahkamah Agung (MA) RI tanggal 28 Juli 1967, Reg No. 99 K/Sip/1967.

Putusan itu, ia gadang-gadangkan dipakai Johny Loepato dalam pengadilan sebagai alat bukti akan kedudukan Sertifikat Sementara No.129 saat itu dikabarkan terbukti cacat hukum.

“Saya ga tahu menahu, tiba-tiba saya bisa dijadikan tersangka. Saya tak terima dijadikan tersangka, orang saya yang punya tanah kok saya dijadikan tersangka,” ungkap Kakek Sutrisna dengan mata yang berkaca.

Selanjutnya, Made Sulendra selaku kuasa hukum dari Made Sutrisna menjelaskan, bahwa bukti-bukti yang dimiliki kliennya berdasarkan putusan pengadilan tahun 2010 tentang sertifikat no. 3395 adalah sah milik Made Sutrisna.

Karena adanya laporan, dimana pelapor diketahui memiliki sertifikat no. 05949 dan adanya pembatalan terhadap sertifikat no. 3395, pihak Made Sutrisna mengaku selama ini tidak pernah diberitahukan terkait keputusan pembatalan tersebut, sedangkan sertifikat no. 3395 itu sudah memiliki dasar hukum yang kuat berdasarkan putusan pengadilan no. 60 tahun 2010 yang amar putusannya menegaskan bahwa Made Sutrisna adalah pemilik sah tanah tersebut berdasarkan jual-beli.

BACA JUGA:  Sukses ITLS 2024, Regeneratifkan Bali Melalui Tata Kelola Penegakan Aturan dan Konservasi Lingkungan

“Dalam hal ini, para pihak yang dirugikan mestinya dipanggil diberikan kesempatan untuk pembelaan. Kenyataannya klien kami tidak pernah diberikan hak, inikan pembatalan sepihak, cacat hukum. Pihak klien kami juga memegang bukti-bukti lengkap dan sah,” jelasnya.

Sementara itu, terkait adanya pemanggilan pihak lain sebagai saksi dalam persidangan yang berlangsung. Ditemui di tempat yang sama, Made Mariata, mengaku juga dilibatkan sebagai saksi dalam persidangan yang berlangsung berdasarkan surat panggilan nomor Spgl/140/III/2022/Satreskrim dari pihak penyidik Polresta Denpasar.

Dirinya mengaku tidak tahu-menahu tentang proses sengketa yang terjadi, dimana pihaknya mengaku hanya sebagai pemilik kendaraan truk yang dipinjam oleh Made Sutrisna, yang diparkirkan di objek tanah sengketa tersebut dan tidak mengetahui titik perkara yang sebenarnya terjadi.

“Loh kok tanya saya? Kan dua tahun lalu saya sudah jelaskan. Itu mobil punya saya tapi Pak Made meminjam untuk berteduh. Kalau tidak boleh, beritahu nae Pak Made supaya dipindahkan mobilnya”, tegas Made Mariata.

Suatu ketika Made Mariata melihat ada garis polisi di tanah tersebut. Dirinya berpikir jika di tempat itu terjadi kasus atau peristiwa hebat. Hingga akhirnya mobil dari Made Mariata hilang. Made Mariata menanyakan kepada Made Sutrisna kemana mobilnya. Made Sutrisna mengatakan hilang saja dan belum membuat laporan kehilangan dan Made Sutrisna menyampaikan akan bertanggungjawab atas hilangnya mobil milik Made Mariata.

Selanjutnya, Parwata, selaku Kuasa Hukum dari pihak pelapor menegaskan bahwa sertifikat no. 3395 yang dimilki oleh Made Sutrisna sudah dibatalkan dan ditarik oleh pengadilan, faktanya surat itu masih dikuasai oleh Made Sutrisna saat ini.

Saat disinggung mengenai pembatalan sertifikat tersebut dengan tidak menyertakan pihak dari Made Sutrisna dan pelaksanaan eksekusi terhadap objek tanah tersebut, Parwata hanya menjelaskan bahwa pembatalan sertifikat tersebut telah dilakukan sebelum Made Sutrisna membeli tanah tersebut dan dikatakan bahwa Made Sutrisna telah membeli sertifikat bodong.

BACA JUGA:  India dan Denpasar Bangun Kerjasama Pengembangan Pariwisata Berbasis Budaya

“Sebelum dia beli sertifikat itu sudah dicabut, dan tidak pernah ada eksekusi. Jadi yang dia tempati itu tanah milik PT Bangun Sejahtera dengan menaruh kendaraan di pintu masuk, sertifikat yang dia beli itu adalah sertifikat yang sudah tidak berlaku, sebenarnya sudah ditarik tapi tidak diserahkan,” ungkapnya. (LB)

Post ADS 1