News

Kembalikan Prabawa MDA sebagai Lembaga Pasikian Desa Adat

DENPASAR, lintasbali.com – Aliansi organisasi mahasiswa dan pemuda Hindu di Bali yang tergabung dalam Forum Komunikasi Bhinneka Hindu Bali (FKBHB), yang terdiri dari DPP Persadha Nusantara Provinsi Bali, DPD Prajaniti Hindu Indonesia Provinsi Bali, Pimpinan Daerah KMHDI Provinsi Bali, serta Aliansi Pemuda Hindu Bali (APHB) Provinsi Bali, menyampaikan aspirasi mereka ke Gedung DPRD Provinsi Bali, Senin, 4 Agustus 2025.

Dalam audiensi tersebut turut hadir Patajuh Bandesa Agung Bidang Hukum dan Wicara Adat MDA Provinsi Bali, Dr. Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, SH., M.H., serta Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali, I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra, SH., M.H.

Kedatangan FKBHB ini bertujuan menyikapi polemik yang tengah berkembang terkait tugas pokok dan fungsi Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, khususnya mengenai proses pengadegan (pengukuhan) Bandesa Adat terpilih serta isu-isu krusial lainnya yang berdampak langsung terhadap kedaulatan dan eksistensi Desa Adat.

Dalam kesempatan tersebut, FKBHB menyampaikan 10 butir petisi yang bertujuan untuk mendorong perbaikan kelembagaan MDA Provinsi Bali serta menciptakan kembali keteduhan dalam tata kehidupan masyarakat hukum adat di Bali, sejalan dengan prinsip Desa, Kala, Patra serta menjunjung tinggi nilai Desa Mawacara, Negara Mawatata.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 73 ayat (1), (2), dan (3) dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 17 Tahun 2014, DPRD Provinsi memiliki kewenangan untuk memanggil pihak-pihak terkait dalam rapat dengar pendapat.

Petisi disampaikan kepada Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali I Komang Nova Sewi Putra, Ketua Komisi IV I Nyoman Suwirta, S.Pd., M.M., dan Ketua Komisi I I Nyoman Budi Utama, SH., yang berisi 10 poin pernyataan sikap sebagai berikut:

  1. Mendesak DPRD Provinsi Bali untuk melaksanakan fungsi pengawasan dengan segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama MDA Provinsi Bali dan Dinas PMA Provinsi Bali, mengingat polemik berkepanjangan di tengah masyarakat adat Bali.
  2. Mengajak seluruh pihak untuk kembali merenungkan landasan filosofis, historis, dan sosiologis eksistensi Desa Pakraman (sekarang disebut Desa Adat) sebagaimana yang dicetuskan oleh Mpu Kuturan pada tahun 1001 M, saat Mahasabha di Pura Samuan Tiga. Hal ini juga sejalan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tanpa harus secara eksplisit menyebutkan kata “adat”.
  3. Mendesak DPRD dan Gubernur Bali untuk segera melakukan harmonisasi hukum antara Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat dengan UU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali. Disharmoni yang terjadi selama ini akibat salah tafsir dan implementasi AD/ART MDA harus segera dikoreksi.
  4. Merevisi Perda No. 4 Tahun 2019, dengan secara tegas mencantumkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dalam konsiderans “Mengingat”, agar Perda tersebut jelas sebagai bentuk pengakuan negara terhadap eksistensi masyarakat hukum adat, bukan sebagai dasar membentuk lembaga baru yang berada di bawah kontrol rezim tertentu.
  5. Mendesak revisi AD/ART MDA, khususnya Pasal 49 ayat (2) dan (3) yang menyatakan bahwa “Desa Adat telah menyerahkan sebagian kewenangannya kepada MDA”, karena frasa tersebut bertentangan dengan prinsip kemandirian dan hak asal-usul Desa Adat sebagaimana dijamin dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
  6. Menegaskan bahwa AD/ART MDA hanya mengikat secara internal terhadap organisasi MDA, dan tidak memiliki kewenangan memerintah atau mengatur Prajuru Desa Adat, pecalang, atau instrumen adat lainnya.
  7. MDA harus menghentikan praktik pelantikan atau pengukuhan Prajuru Desa Adat serta tidak lagi menerbitkan Surat Keputusan (SK) terkait hal tersebut.
  8. Mengembalikan Prabawa (marwah) MDA sebagai lembaga Pasikian Desa Adat, bukan sebagai institusi hirarkis. MDA adalah forum koordinatif para Bandesa Adat, bukan atasan dari Bandesa Adat, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, kepemimpinan MDA di semua tingkatan harus diisi oleh Prajuru Desa Adat atau mantan Prajuru Desa Adat, bukan oleh individu yang tidak memiliki rekam jejak adat.
  9. Ngadegang Bandesa Adat adalah hak tradisional masing-masing Desa Adat, dan sepenuhnya merupakan urusan internal Desa Adat tanpa campur tangan pihak luar, termasuk MDA.
  10. Negara melalui Dinas PMA Provinsi Bali harus hadir dalam melakukan pengawasan serta menjamin tertib administrasi baik secara tekstual maupun kontekstual atas AD/ART MDA, administrasi kependudukan, surat-menyurat, serta penerbitan keputusan. Negara juga harus menolak segala bentuk feodalisme baru yang dibangun atas dasar ambisi pribadi yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 27 dan Pasal 28 A–J UUD 1945.
BACA JUGA:  Berpikir Positif dan Aksi Nyata Hadapi Kehidupan di Tengah Pandemi

Sebelum penyerahan petisi, dilakukan dialog terbuka yang bersifat kekeluargaan antara perwakilan FKBHB, MDA, Dinas PMA, serta unsur dari berbagai fraksi DPRD Provinsi Bali. Dalam dialog tersebut, disepakati pentingnya revisi terhadap AD/ART MDA, terutama pada Pasal 49 ayat (2) dan (3) yang dinilai mengganggu kedaulatan Desa Adat.

Poin krusial lainnya yang disepakati adalah pengembalian Prabawa/Marwah MDA sebagai lembaga Pasikian Desa Adat, bukan lembaga komando hierarkis. MDA hanya sebagai forum musyawarah dan komunikasi antar Bandesa Adat. Karena itu, keanggotaan dan kepemimpinan MDA harus berasal dari atau pernah menjabat sebagai Prajuru Desa Adat.

Sebagai tindak lanjut, Komisi I dan Komisi IV DPRD Provinsi Bali sepakat untuk segera memanggil Ketua MDA dalam rapat dengar pendapat (RDP) dalam waktu dekat. (LB)

Post ADS 1