Gianyar, Lintasbali.com – Di era globalisasi, masyarakat Bali mengalami benturan kebudayaan, tabrakan waktu kapitalisme dengan waktu khas agraris Bali terjadi sangat dashyat serta selalu terjadi dualisme antara keinginan untuk mempertahankan tradisi dan menerima modernisasi sebagai tuntutan zaman. Dengan demikian akan mengundang berbagai masalah di segala bidang sehingga merusak tatanan sakral-profan, hulu-teben, serta perubahan ruang dan waktu.
Seperti ancaman keberadaan subak beserta ritualnya yang sangat terganggu terutama masalah irigasi air, teks ideal yang termuat dalam teks agama dalam kenyataannya berbanding terbalik dengan teks sosial. Kuatnya anutan agama pasar dapat mengabaikan agama resmi (Hindu) sehingga memunculkan prilaku menyimpang. Sungai jadi tong sampah, pencemaran, dan sebagainya adalah prilaku yang sudah membiasa. Luas lahan pertanian sudah semakin habis.
Rupanya kedahagaan akan kesejahteraan ekonomi dan kemakmuran material sesaat telah menjadi pemicu krisis moral dengan melunturkan kesadaran masyarakat tradisional ke dalam ruang kesadaran baru yang berbeda dan berlawanan dengan kesadaran mereka sebelumnya.
Pandangan ekosentris seperti yang telah dijalankan oleh masyarakat desa secara turun menurun telah berubah dengan pandangan antroposentris. Tindakan serba religius tergantikan oleh tindakan profan dan dinominalkan ke dalam hitungan uang. Faktor ekonomi telah mampu mengubah sikap masyarakat sehingga memunculkan tindakan berbeda terhadap objek yang sama.
Demikianlah tukad mengalami perubahan perlakuan dalam masyarakat masa kini, antara lain ditunjukkan oleh perubahan dalam pengolahan dan pengelolaannya. Akibat lebih jauh adalah telah terjadi proses penundaan makna agama dan lebih menonjolkan makna ekonomi sesaat, atau makna agama dimanipulasi untuk kepentingan ekonomi.
Perubahan epistemologi sosial secara nyata telah mempengaruhi ideologi dan pandangan-dunia masyarakat Bali tentang objek-objek dan lingkungannya. Pemahaman mengenai alam semesta sebagai proses mekanik telah mengecilkan arti alam semesta itu sendiri. Pemahaman akan kosmos direduksi, termasuk pemahaman mengenai hidup manusia sendiri. Dampaknya, paradigma mekanistik melatarbelakangi berbagai kasus kerusakan lingkungan.
Di tengah munculnya ancaman krisis lingkungan seperti tersebut di atas, seni pada dasarnya dituntut untuk turut memberikan kontribusi penyadaran dan perbaikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahwa persoalan lingkungan adalah bersama, semua pihak termasuk seniman harus bekerjasama untuk mencari solosi memperbaiki lingkungan hidup. Begitu juga wacana dan praktik-praktik pelestarian lingkungan baik dari LSM, yayasan, organisasi, dan pemerintah patut kita dukung.
Selama ini upaya untuk memperbaiki nasib pelestarian lingkungan terus dilakukan dengan berbagai upaya seperti lomba lingkungan, penghargaan Kalpataru dan yang lainnya. Namun upaya tersebut masih harus didukung dengan kegiatan lain, salah satunya apresiasi lingkungan lewat ranah kesenian.
Galang Kangin terpanggil untuk menjadikan kesenian sebagai bagian dari upaya mengkampanyekan (menyebrangkan) isu lingkungan yang inspiratif dengan perspektif peningkatan apresiasi lewat eco art lelakut di tengah kerusakan ekologi. Selain itu merupakan sebuah kerja yang berujung pada usaha mereposisikan kembali hubungan manusia dengan alam agar lebih harmonis.
Dengan menghadirkan realitas lingkungan sosial dalam praktek seni berarti menghadirkan manusia bukan dalam perspektif misterinya, melainkan eksistensi manusia sebagai permasalahan, mendekatkan manusia objektif, yaitu manusia dalam ruang sosial.
Pada konteks itulah, Galang Kangin menempatkan eksplorasi kreatif penciptaan karya seni sebagai upaya refleksi kritis membaca lingkungan.
Menghadirkan persoalan ekologi dalam bingkai kekaryaan Galang Kangin tidak secara spektakuler mau meluruskan disharmoni persoalan di atas.
Karya ini tidak juga menawarkan solusi-solusi sosiologis sebagaimana pernyataan-pernyataan para politikus, pemegang kekuasaan, pakar lingkungan, lembaga swadaya masyarakat, namun melakukan perantauan estetika dengan mencermati lingkungan sebagai ranah berkreativitas. Pesan dari karya-karya Galang Kangin yakni, ajakan memahami lingkungan untuk dibaca dan dimanfaatkan.
Alam adalah kesatuan organis yang tumbuh, berkembang dalam adabnya sendiri. Prilaku dan daya hidup dari sebuah ekosistim merupakan mutual yang saling memberi. Esensi dari karya-karya yang ditampilkan ini adalah, Bali tidak hanya cukup dijaga dengan Om Shanti, Shanti, Shanti, melainkan harus lebih jauh dari itu, yakni kita bersama mencari tafsir baru mengenai kaitan Tri Hita Karana.
Kekaryaan sebagai media untuk menyebrangkan isu lingkungan agar meningkat apresiasi masyarakat untuk hidup ramah lingkungan. Untuk mencegahnya maka diperlukan kesadaran makro-ekologi karena keseluruhan interaksi antara manusia dan lingkungan membentuk suatu lingkungan geo-fisik merangkap sebagai sistem otonom. Setiap perubahan pada salah satu unsurnya membawa akibat yang kerap disebut ekosistem. Ekosistem-ekosistem lokal pada gilirannya terkait satu sama lainnya di dalam sistem global bumi. (Red/Rls)