News

Mafia Tanah di Perkara Ngurah Oka, Ahli Pidana Prof Sadjijono Pertanyakan Logika Jaksa

DENPASAR, lintasbali.com – Penetapan status berkas perkara lengkap atau P-21 dalam kasus dugaan pemalsuan silsilah yang dituduhkan terhadap AA Ngurah Oka, salah satu penglingsir (tetua) keluarga Jero Kepisah Denpasar kembali menuai sorotan. Ganjilnya proses penetapan P-21 perkara itu memantik pertanyaan kompetensi logis dan profesionalisme jaksa yang menangani di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali.

Diberitakan sebelumnya, jaksa Kejati Bali memberi petunjuk agar penyidik Kepolisian Daerah (Polda) Bali yang menangani laporan Anak Agung Eka Wijaya atas terlapor Ngurah Oka untuk membuktikan secara keperdataan kepemilikan objek tanah yang menjadi sumber sengketa terlebih dahulu sebelum laporan dugaan pemalsuan silsilah diproses.

Terkait penetapan P-21 tanpa dipenuhinya petunjuk jaksa tersebut, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Bali, Putu Agus Eka Sabana Putra mengklaim penuntut umum (PU) menyatakan alat bukti yang diperlukan untuk mendukung unsur pasal yang disangkakan telah dipenuhi penyidik sehingga berkas perkara dinyatakan lengkap atau P-21.

“PU menyatakan berkas lengkap P-21, tentu PU berpendapat alat bukti yang diperlukan untuk mendukung unsur pasal yang disangkakan terhadap tersangka sudah dipenuhi penyidik. Nanti alat bukti yang didapatkan oleh PU untuk mendakwa terdakwa dapat diuji di pembuktian persidangan. Nanti kita bisa ikuti perkembangan persidangannya,” terangnya saat itu.

Pernyataan Penkum Kejati Bali ini memantik pertanyaan dan keraguan terhadap logika berpikir hukum dan profesionalisme jaksa di Kejaksaan Tinggi Bali. Ahli hukum pidana dari Universitas Bhayangkara Surabaya, Prof Dr Sadjijono SH M.Hum mempertanyakan, bagaimana mungkin penuntut umum menyatakan unsurnya sudah lengkap terpenuhi sementara masih ada petunjuk yang belum dipenuhi oleh penyidik.

“P-21 itu kan maknanya berkas perkara itu sudah lengkap, unsur nya terpenuhi. Pertanyaannya, logika hukumnya bagaimana bisa mengatakan unsurnya sudah lengkap dan terpenuhi sedangkan masih ada petunjuk yang belum diselesaikan oleh penyidik. Dari situ berarti ini ada suatu konsep ketidakjujuran antara tempat satu dan yang lain. Bagaimana kalau kemudian terjadi benturan itu tentunya ada suatu sikap yang dipengaruhi oleh individunya bukan lembaganya. Jadi disitu ada tindakan maladministrasi,” ujar Prof Dr Sadjijono SH M.Hum, ahli hukum pidana Universitas Bhayangkara Surabaya, Selasa, 26 Nopember 2024.

BACA JUGA:  Pegadaian Serahkan Bantuan Dana Kebajikan Umat (DKU), untuk Baznas Kota Denpasar dan DSM

Sadjijono juga menegaskan dalam Perma No. 1 tahun 1956 dijelaskan bahwa apabila ada sengketa perdata maka harus ditunda dulu pidananya. Karena, jika di dalam sengketa perdata, terlapor atau tersangka menang dalam sengketa itu, maka pidananya akan otomatis gugur.

“Dalam konsep dan teori hukum, ada suatu asas yang disebut pre-judicial geschil. Itu sebagai penjelasan Perma No 1 tahun 1956 bahwa apabila ada sengketa perdata maka ditunda pidananya. Jadi pidana yang ada hubungan dengan hak keperdataan yang harus dibuktikan, maka disitu ditunda dulu pidananya. Bagaimana kalau ini tidak ditunda, maka di kemudian hari kalau perkara itu dilanjutkan, dan sengketa itu dimenangkan oleh terdakwa atau tersangka atau terlapor disini akan menjadi permasalahan hukum yang baru,” paparnya.

Sudjijono juga menilai ada sikap yang bertentangan dengan asas dan profesionalisme dari aparat penegak hukum yang menangani perkara ini. Pasalnya, perkara yang harusnya di ranah keperdataan dipaksa digiring masuk menjadi perkara pidana.

“Kalau menurut pendapat saya ini bertentangan dengan profesionalismenya seorang penegak hukum, karena mestinya memahami tentang asas pre-judicial geschil itu. Asas kan sebagai suatu yang dipedomani dalam penegakan hukum. Ketika di dalam penegakan hukum bertentangan dengan asas hukum yang berlaku dan mengikat, berarti itu ada perbuatan aparatnya yang bertentangan dengan asas hukum,” singgung Sudjijono.

Sementara itu, terkait jaksa yang menangani perkara ini adalah pejabat baru, Sudjijono menegaskan jaksa sebagai institusi lembaga. Siapapun orangnya, harus menggunakan dasar bahwa ini adalah suatu jabatan fungsional atau struktural dari lembaga.

“Disini lah agar ex officio jaksa pengganti pun harus menghargai mengikuti terhadap kebijakan jaksa yang sebelumnya karena jaksa ini adalah lembaga bukan perorangan. Mestinya jaksa yang baru mengikuti proses yang sudah ditetapkan pada jaksa sebelumnya. Jadi jangan ada perubahan yang belum tuntas, kecuali memang sebelumnya tidak ada kebijakan atau tidak ada suatu hal yang diberikan petunjuk kepada penyidik. Harusnya mengikut jaksa yang lama,” tandasnya. (Red/LB)

Post ADS 1