DENPASAR, lintasbali.com – Keputusan pemerintah untuk memberlakukan moratorium perizinan di Bali hingga 2026 menuai sorotan tajam dari berbagai pihak.
Wayan Irawan, Dewan Pakar Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Bali, menyebut kebijakan ini sebagai langkah kontroversial yang berpotensi melemahkan perekonomian lokal dan menciptakan ketidakpastian di kalangan pelaku usaha.
“Kebijakan ini seperti bom waktu. Jika tidak dikelola dengan baik, dampaknya akan sangat signifikan terhadap sektor ekonomi Bali, terutama properti, pariwisata, dan konstruksi,” ujar Irawan saat diwawancarai pada Senin, 9 Desember 2024.
Moratorium perizinan ini menjadi pukulan berat bagi sektor konstruksi, yang selama ini menyerap ribuan tenaga kerja lokal. Dengan pembekuan izin proyek-proyek baru, banyak kontraktor terpaksa menghentikan operasional, yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal.
“Bagaimana masyarakat bisa bertahan jika pekerjaan mereka justru dihapus? Pengangguran massal hanya menunggu waktu,” tegas Irawan.
Investor, baik lokal maupun internasional, juga menghadapi ketidakpastian besar. Menurut Irawan, pembekuan izin ini menghambat proyek-proyek strategis yang sedang berjalan dan memaksa modal untuk keluar dari Bali ke daerah lain yang lebih ramah investasi.
Kebijakan ini juga dinilai tidak adil bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM). Sementara proyek besar yang kerap mengabaikan aspek lingkungan tetap berjalan, usaha mikro seperti homestay, restoran kecil, dan proyek komunitas menghadapi hambatan serius.
“Usaha kecil inilah yang sebenarnya menjadi tulang punggung ekonomi lokal dan budaya Bali. Tetapi mereka malah kesulitan bertahan,” tambahnya.
Irawan pun menyoroti ketiadaan strategi pemerintah dalam mengelola dampak kebijakan ini. Hingga kini, belum ada kejelasan terkait nasib proyek yang izinnya tertunda atau solusi bagi sektor terdampak.
“Pemerintah seharusnya sudah menyiapkan peta jalan yang jelas sebelum memberlakukan kebijakan seperti ini. Ketidakpastian seperti ini hanya merusak kepercayaan masyarakat dan pelaku usaha,” imbuhnya.
Sebagai solusi alternatif,
Irawan mengusulkan pendekatan yang lebih bijaksana melalui reformasi perizinan. Proyek-proyek berkelanjutan yang mematuhi standar lingkungan harus diprioritaskan, sementara pelaku UMKM perlu diberikan insentif agar mampu bertahan.
“Kita perlu kebijakan yang berimbang, bukan moratorium total yang menciptakan lebih banyak masalah. Pemerintah juga harus transparan dan mendengarkan masukan dari semua pemangku kepentingan,” katanya.
Bali, menurut Irawan, tidak bisa terus-menerus bergantung pada pariwisata sebagai mesin utama ekonomi. Kebijakan tanpa rencana strategis hanya akan membuat masyarakat Bali semakin rentan, terutama di tengah tantangan global.
“Kita membutuhkan kepemimpinan yang berani mengambil langkah strategis, bukan sekadar reaktif,” tutupnya. (LB)