DENPASAR, lintasbali.com – Irama, lirik, dan pesan luhur menyatu dalam Utsawa Parade Lagu Pop Bali yang digelar Selasa, 22 Juli 2025 malam di Festival Seni Bali Jani (FSBJ) ke-7. Pergelaran yang menghadirkan Sanggar Seni Cressendo Bali Griya Musika Sukawati itu bukan sekadar parade lagu, melainkan parade makna dan nilai-nilai luhur yang dituturkan lewat nada.
Bertempat di panggung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, ratusan penonton larut dalam sajian lagu-lagu Bali bertemakan keagamaan, budaya, dan kebinekaan. Usai pertunjukan utama, penonton memadati areal Madya Mandala untuk melanjutkan penghayatan terhadap pesan-pesan spiritual dan sosial yang dikemas dalam balutan pop Bali kontemporer.
“Di tengah derasnya arus globalisasi, penting untuk mengingat dan menanamkan nilai-nilai adiluhung Bali. Lewat musik, kami ingin menghidupkan kesadaran kolektif untuk merawatnya,” ujar Komang Darmayuda, pemilik sanggar.
Nada yang Bertutur
Dibuka dengan garapan terbaru yang menggambarkan Bali sebagai pulau suci tempat menyatu nilai agama, budaya, dan kebhinekaan parade ini seakan menjadi oase spiritual. Lagu “Tridatu Maha Suci” yang dibawakan Gek Yoni, mengingatkan akan kekuatan Trimurti dan pentingnya menempatkan Ketuhanan sebagai poros hidup.
Disusul “Nyolahang Solah” oleh Mang Ayu, yang menggugah kesadaran akan laku baik sebagai fondasi harmoni. Gung Mas Pemayun dengan “Ahimsa”-nya mempertegas pesan cinta kasih universal di tengah gejolak dunia.
Pesan-pesan mendalam juga muncul lewat lagu “Tat Twam Asi”, dibawakan format kwintet vokal: Angling, Desta, Intan Dhea, Gung Mas, dan Mang Ayu. Lagu ini menjadi pengingat akan nilai welas asih dan persaudaraan semesta: “aku adalah kamu”.
Kemudian, Angling dengan “Bhuana Shanti” menyuarakan seruan damai dunia. Disusul “Peed Sukawati” yang dituturkan Intan Dhea, menarasikan nilai-nilai kearifan lokal Sukawati yang tetap relevan dalam lintas zaman.
“Biang Sesuluh Tityang” oleh Gek Rani mengangkat peran ibu sebagai pilar moral dan kompas kehidupan. Sebuah lagu sederhana namun menyentuh, mengalirkan kekuatan kasih ibu dalam mendidik generasi penerus.
Garuda, Merah Putih, dan Catur Purusa Artha Duo Dayu Gek dan Desta hadir lewat “Pengraksa Nusantara”, lagu yang menggambarkan Garuda sebagai penjaga kebhinekaan. Dilanjutkan dengan “Wangsa Nuswantara” dan “Merah Putih”, sebuah penghormatan terhadap semangat nasionalisme dan kesucian perjuangan, yang juga diciptakan maestro Gde Dharna.
Sebagai penutup, lagu “Catur Purusa Artha” yang dibawakan kwintet Gung Mas Pemayun, Intan Dhea, Dayu Gek, dan Gek Rani menyimpulkan perjalanan spiritual manusia Bali: dari Dharma, Artha, dan Kama menuju Moksa. Lagu ini menjadi klimaks dari parade yang bukan hanya menghibur, tapi juga mencerdaskan.
“Semoga lagu-lagu ini menjadi pakeling (pengingat) yang bisa dituturkan kembali, mengalir dari panggung ke rumah, dari hati ke hati,” pungkas Komang Darmayuda.
Parade ini bukan hanya festival musik tapi sebuah perayaan nilai, memori budaya, dan kompas moral yang dibingkai dalam harmoni Bumi Bali. (Rls)