DENPASAR, Lintasbali.com – Minuman arak sejatinya sebelum ada Pergub Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali, banyak kasus-kasus penangkapan di tingkat masyarakat bawah, khususnya pelaku mikro yang mengambil rejeki dari hasil penjualan arak. Namun, dengan Pergub yang dikeluarkan Gubernur Wayan Koster persepsi dan usaha menjual arak kembali mendapatkan ruang, sehingga rasa takut menjual arak perlahan mulai hilang.
Perbekel Desa Tri Eka Buana Kecamatan Sidemen, Karangasem I Ketut Derka yang disinggung mengenai pengembangan arak Bali, dia memandang mencuatnya arak Bali dengan jernih di lingkungan masyarakat, ia sebaliknya berupaya meningkatkan branding arak di desanya.
“Kalau masalah rencana seandainya bisa agar (arak Bali) dikelola sendiri. Supaya branding di desa kita tidak hilang, karena itu sudah ada koperasi, mungkin ke depannya dapat memanfaatkan koperasi,” ucapnya, Selasa (19/1).
Kreativitas mengelola arak oleh masyarakat Bali, itu dijadikan simbol yang diyakini untuk menjaga tradisi budaya. Branding arak diolah dan dipromosikan menarik dengan label khas berasal dari Bali. Proses penjualan arak tidak berhenti karena permintaan arak tetaplah ada di masyarakat, arak pun menjadi bagian dari simbol budaya yang digunakan umat Hindu bagi sarana upacara atau bebantenan.
Mengenai penjualan minum-minuman keras tanpa izin menjadi perhatian masyarakat di Bali. Meskipun sudah ada Pergub Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali, tetapi minuman arak tradisional yang dijual di masyarakat tetap perlu diawasi, khususnya dampak atas konsumsi arak yang berlebihan. Kembali kepada masyarakat Bali sendiri, jika mampu menjaga tradisi budaya pembuatan arak tradisional Bali, selain lestari, tapi juga menjaga keluwesan konsumsi arak dalam pergaulan. Dengan cara menikmati minuman tanpa aksi-aksi anarkisme.
Gubernur Koster mulai berbenah untuk melakukan perubahan daya guna lewat sekumpulan potensi yang sudah dimiliki masyarakat kecil. Gubernur Koster mengartikulasikan kewenangannya, maka lewat arak yang dihadirkan kemudian dipromosikan kembali, bahkan Gubernur Koster ke depan akan menggelar events promosi festival arak.
Dari itu, Perbekel Derka menyatakan bahwa Pergub Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali, tetap membutuhkan masukan-masukan baru ke depannya untuk lebih bisa disempurnakan dan membawa manfaat positif bagi produsen arak tradisional di Bali.
“Menurut saya Pergub Nomor 1 Tahun 2020 sudah bagus, tetapi perlu ada sedikit revisi lagi terkait harga bahan baku, antara pabrik dengan koperasi petani (harga tetap). Kalau masalah harga sebelum terbit pergub, ada yang senilai Rp50 ribu per liter, bahkan lebih itu menurut kadar alkoholnya,” ucapnya.
Pergub akan mengatur tentang pengolahan atau produksi dan penjualan arak Bali. Dengan demikian, petani arak tradisional Bali bisa mendapatkan payung hukum yang jelas serta wadah untuk mengembangkan usahanya.
Dengan pergub ini Gubernur Koster dapat melakukan tata kelola untuk mengatur produk khas Bali dari hulu sampai hilir. Hal ini satu produk baru sebagai basis ekonomi kerakyatan sesuai dengan kearifan lokal yang sejalan dengan visi Nangun Sat Kerthi Lokal Bali. Arak Bali mendapat ruang budaya, tidak saja dilestarikan di masyarakat melainkan arak Bali menjadi pendapatan ekonomi. Lewat kepemimpinan Gubernur Koster, artikulasi politik disebarluaskan melalui promosi berita arak di media massa. Pengumuman Pergub No. 1 Tahun 2020 turut memanfaatkan jejaring media sosial. Perbekel Derka merasakan manfaat dan kegunaan dari arak Bali.
“Merupakan kebanggaan karena leluhur saya bisa menciptakan minuman khas yang sangat luar biasa, ini merupakan budaya yang bermanfaat bagi kepentingan agama maupun simbolis,” imbuhnya.
Karmayasa petani arak asal Desa Sidemen, Karangasem menambahkan dia sangat mengapresiasi dengan terbitnya Pergub Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali. Namun, dia juga khawatir bila muncul masalah baru, di mana soal pelegalan arak nantinya daerah lain dapat saja menekuni pekerjaan yang sama sebagai petani arak.
“Ke depan saya berharap pemerintah bisa memberi perhatian dan hak istimewa bagi petani arak tradisional dan pemerintah tentu dapat menjembatani distribusi arak sampai ke luar Bali,” harapnya.
Ibarat pepatah “ada gula ada semut”, tidak mengherankan lagi jika Bali memiliki ragam kreativitas termasuk pengelolaan arak. Gubernur Koster diharapkan mampu membantu menjaga eksistensi petani arak di masa depan.
Minuman tradisional arak tidak lagi menjadi minuman terlarang melainkan sudah legal. Ke depan masyarakat Bali diminta bisa mengembangkan dan mampu berkreasi dengan tetap mematuhi peraturan yang ada, tidak arogan berfoya-foya di keramaian untuk minum-minuman keras. Masyarakat Bali mampu berpikir bahwa arak dijual untuk menambah ekonomi keluarga dan arak untuk kebutuhan upacara. (*/DK)