DENPASAR, lintasbali.com – Organisasi Sai Study Group Indonesia (SSGI) adalah suatu lembaga, tempat mempelajari, menghayati, dan mengamalkan wacana-wacana Bhagawan Sri Sathya Sai Baba.
SSGI, bukan suatu organisasi yang mempunyai misi pemindahan agama, bukan organisasi yang mencampur-adukkan agama, bukan agama baru atau suatu aliran kepercayaan.
Munculnya pro kontra keberadaan aliran sampradaya (aliran ajaran religius) khususnya Sai Baba, mendapat berbagai tanggapan dari masyarakat.
Terkait sikap Sai Study Group Indonesia (SSGI) terhadap dinamika Sampradaya, Putu Gede Suwitra selaku Ketua Umum SSGI angkat bicara.
Ia menganggap hal itu sebagai satu hal yang wajar dan bagian dari dinamika perjuangan. Namun demikian ia mengatakan, melihat dalam beberapa kasus ada pernyataan-pernyataan dinilai berlebihan.
“SSGI menilai pendapat dari kelompok yang mempersoalkan keberadaan Sai Baba sebagai hal yang wajar, meskipun dalam beberapa kasus ditemukan pernyataan-pernyataan yang berlebihan (khususnya di media sosial)”, paparnya saat dihubungi wartawan pada Senin,6 Desember 2021.
Dirinya menyadari keadaan yang menimpa organisasi saat ini adalah bagian dari dinamika “perjuangan” lintas kepentingan.
“Dalam pandangan organisasi, isu penolakan menjadi semakin melebar sebagai akibat dari informasi yang beredar tidak bersumber pada fakta, data dan dokumen yang memadai”, imbuhnya.
Oleh karenanya, apa yang ditemukan masyarakat di media sosial sering berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Menurutnya yang menjadi pertanyaan, benarkah Sai Baba mengancam eksistensi adat, budaya, tradisi dan ritual keagamaan “dresta” Bali?
Dirinya menjawab, apabila menelusuri lebih dalam, dari jejak rekam organisasi (dokumentasi, legalitas, ideologi, flatform termasuk didalamya kebijakan yang pernah dikeluarkan oleh organisasi), maka SSGI menyimpulkan ada pemahaman yang belum terkomunikasikan dengan baik.
“Disatu sisi data dan temuan yang kami pegang sebagai acuan sangat berbeda dengan data dan temuan yang sering dipakai oleh beberapa kelompok untuk mempersoalkan keberadaan Sai Baba”, paparnya.
Dalam menyikapi polemik diatas, Gede Suwitra menyatakan bahwa SSGI berpandangan :
1. Perlu membangun forum dialog yang inklusif, melibatkan seluruh stakeholder (pemerintah, aparat keamanan, MDA, PHDI dan pihak “pejuang” dresta) agar sekiranya SSGI dapat berbenah jika kemudian ditemukan hal-hal yang mengarah pada “ancaman” eksistensi dresta Bali.
2. Tetap membaur ditengah-tengah masyarakat, menonjolkan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, kerelawanan, pendidikan budi pekerti dan kegiatan lingkungan serta pengembangan sumber daya manusia.
3. Setiap peserta Sai Study Grup (SSG) diharapkan menjadi teladan dimasyarakat, menjauhi sikap yang eksklusif, tidak membawa ritual-ritual keagamaan yang berbeda dengan dresta Bali khususnya diluar lingkungan Sai Center.
Saat ditanya apakah ada Sai Bhakta yang pernah kena kasus hukum terkait penistaan dresta Bali, pihaknya mengatakan dalam catatan organisasi, belum pernah menerima laporan Sai Bhakta yang bermasalah hukum akibat menistakan dresta Bali.
Ia menyampaikan, agar lebih transparan, data dan informasi berikut ini dapat menjadi bahan pembanding :
Organisasi menyadari ada semangat yang berlebihan (dari sejumlah oknum) dalam membawakan ajaran Sai Baba, semangat ini berdampak pada keinginan untuk menonjolkan identitas yang berbeda dengan dresta Bali.
“Sudah barang tentu keadaan tersebut menjadi fokus perhatian organisasi (SSGI), mengingat Sai Baba sendiri mengajarkan agar setiap bhakta beliau senantiasa menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan budaya lokal di manapun bhakta Beliau berada”, lanjutnya.
Sebaliknya, SSGI sejak lama telah mendorong program-program kerja (sesuai dengan ajaran Sai Baba) agar organisasi mampu menyatu dengan lokal genius (dersta) setempat. Dalam konteks Bali, program-program tersebut sangat menekankan konsep Tri Hita Karana, Tri Kaya Parisudha, Konsep Nyepi dan kecintaan terhadap warisan leluhur.
Sebagai contoh, program tirtayatra, darma tula dan darma wacana adalah bentuk implementasi hubungan Manusia dengan Tuhan. Kemudian sebagai wujud hubungan manusia dengan manusia, organisasi banyak terlibat dalam program pelayanan kemanusiaan dan kerelawanan.
Bentuk kegiatannya seperti, pembangunan klinik Kesehatan (cuma-cuma), kegiatan rutin donor darah, sumbangan kepada sesama yang kurang mampu, bedah rumah, dan membentuk kelompok relawan khusus kebencanaan yang dikenal dengan nama Sai Rescue.
Yang terakhir, terkait hubungan manusia dengan lingkungan, organisasi juga telah membentuk kelompok peduli yang dikenal dengan nama Sai Green, unit organisasi tersebut berfokus pada penghormatan terhadap Ibu Bumi dalam bentuk pengolahan sampah organik, penanaman pohon, penghijauan, pembersihan sungai, dan pembuatan eco enzim.
Khusus yang berkaitan dengan konsep Nyepi, sesuai dengan tag line organisasi, SAI diterjemahkan sebagai See Always Inside, sebuah identitas Bali yang kental dengan makna melajahin dewek atau nandurin karang awak.
Jadi organisasi lebih berorientasi pada usaha pembenahan kedalam diri masing-masing, setiap peserta dilarang membawa misi mempengaruhi keyakinan orang lain sebagaimana konsep misionaris yang sering kita dengar.
Menepi untuk melihat lebih banyak kedalam diri adalah roh dari kegiatan Sai Study Grup Indonesia agar setiap Sai Bhakta lebih banyak mulat sarira.
Selain ketiga hal diatas, SSGI juga berperan aktif, melestarikan nilai-nilai tradisi, seni dan budaya dresta Bali. Jika memperhatikan kegiatan di SSG Denpasar, akan mudah bagi peneliti untuk menyaksikan aktifitas (workshop) seperti megambel, menari bali, membuat penjor, membuat banten, canang, mekidung, ngodalin dsb.
Dipentas internasional, SSGI cukup sering mengharumkan nama Bali dengan menampilkan sendratari, pentas musik tradisional dan karya-karya visual yang mengangkat keagungan nilai-nilai lokal dresta Bali.
Penting untuk digarisbawahi, setelah mengikuti ajaran Sai Baba tidak berarti para bhaktanya telah meninggalkan warisan ajaran leluhur. Sebaliknya, sebagai warga yang mengikuti dresta Bali, selaku individu menjadi Sai Bhakta tetap mebanten, punya sanggah (merajan) dirumah masing-masing, tetap menjadi krama desa adat dengan segala kewajiban masing-masing, bahkan secara umum Sai Bhakta didorong untuk lebih memahami nilai-nilai dibalik sombol-simbol yang banyak kita jumpai dalam ritual dresta Bali.
Saat dikonfirmasi apakah Sai Baba itu Hindu atau bukan? Jika Sai Baba Hindu, mengapa praktiknya berbeda dengan ritual Hindu di Bali?
Sai Baba mengajarkan (membawa misi) mengembalikan jalan raya kuno Weda berikut nilai-nilainya yang sangat universal sebagai the way of life.
Dari aspek theologi, tidak ada ajaran baru yang diperkenalkan. Bagi yang percaya keagungan para ista dewata seperti Brahma, Wisnu, Siwa, Budha, Parwati, Ganesha, Saraswati, Laksmi dan masih banyak ista dewata lainnya, maka akan mudah bagi yang berkepentingan untuk melihat Sai Bhakta melantunkan nama-nama suci tersebut dalam pelaksanaan Bhajan (pelantunan kidung suci).
Apabila merujuk pada kegiatan yang dilakukan di Prasanthi Nilayam India, akan mudah untuk menyaksikan para penekun weda mencantingkan mantra-mantra rudram yang dipilih dari sloka kitab suci catur weda dan bahagawad gita. Selain mengajarkan weda sesuai dengan konteks jamannya, Sai Baba pernah dinobatkan sebagai Hindu of the Year pada tahun 1996 oleh Hinduism Today.
Sai Baba mengajarkan penghormatan terhadap catur guru, tri karana sudhi (di Bali lebih dikenal sebagai pelaksanaan tri kaya parisudha) dan penerapan nilai-nilai universal dari keagungan Wedanta yang oleh organisasi diterjemahkan sebagai Panca Pilar (Kebenaran, Kebajikan, Cinta kasih, Kedamaian dan Tanpa Kekerasan).
Untuk mewujudkan misi tersebut, organisasi membagi kegiatannya kedalam 3 bagian (wings), masing-masing : Wing Spiritual, Wing Pelayanan dan Wing Pendidikan. Dari ketiga wings tersebut, sebagian kecil diantaranya (akan tetapi sering diperdebatkan saat ini) adalah wing spiritual, karena didalamnya terdapat ritual yang lebih dikenal dengan sebutan Bhajan (melantunkan nyayian-nyaian kudung suci).
Didalam GBHO (garis-garis besar haluan organisasi) SSGI, organisasi telah mengamanatkan bahwa prinsip dasar penyelenggaraan Bhajan (kidung suci) adalah untuk sarana penghalusan jiwa, mengkontemplasikan diri lebih pada aspek ketuhanan yang dipuja oleh masing-masing pengikut lewat Namasmaranam (pengulangan nama Tuhan).
Disadari, meskipun dalam tataran filosofi, kegiatan mekidung dan berjapa sangat populer dalam konteks dresta Bali, akan tetapi bentuk ritual yang diselenggarakan oleh SSG dilingkungan sai center masih terkesan keindia indiaan. Kesan tersebut harus diakui saat ini masih menjadi polemik dimasyarakat (khususnya media sosial).
Atas dasar itulah, agar tidak menjadi isu yang berkepanjangan, SSGI sangat berharap agar pemegang otoritas (dalam hal ini pemerintah provinsi, otoritas agama dan otoritas adat) dapat memberikan pembinaan, pengarahan, dan apabila diperlukan memberikan batasan-batasan yang lebih tegas dan terperinci mengenai kegiatan-kegiatan mana saja yang boleh dilakukan diluar lingkungan Sai Center dan kegiatan-kegiatan mana yang harus dibatasi hanya diselenggarakan di lingkungan Sai Center saja. (Tim)