News

Sri Mulyani Bisa Kaget, Kerugian LPD Bisa Masuk Kas Negara

DENPASAR, lintasbali.com – Menyatakan kerugian Lembaga Perkreditan Desa (LPD) sebagai kerugian keuangan negara sepertinya tindakan yang tidak masuk akal dan salah besar. Pasalnya, hanya karena ada sedikit dana (donasi) pemerintah daerah (Pemda) diberikan saat pendirian LPD, miliaran kerugian LPD dianggap sebagai kerugian keuangan negara.

Jika demikian, uang siapa sebenarnya berjumlah miliaran dianggap milik negara itu ?

Puluhan tahun lalu diketahui pemerintah memberikan sumbangan Rp 2 juta hingga Rp 5 juta kepada desa adat sebagai hadiah lomba desa. Dana tersebut lalu dipergunakan oleh desa adat untuk mendirikan LPD. Namun, sebenarnya tidak semua LPD yang ada hari ini mendapatkan dana donasi dari Pemda.

Seiring berjalannya waktu lantaran memberi dampak positif dalam ekonomi dan budaya, sistem LPD ini berkembang. LPD mendapat kepercayaan masyarakat hingga banyak masyarakat yang menyimpan dananya di LPD dan mengambil kredit sebagai modal usahanya. Hingga akhirnya, banyak LPD mampu berdiri sendiri tanpa mengandalkan sumbangan pemerintah di sejumlah desa adat yang ada di Bali.

Menjadi menarik, ketika kini LPD di beberapa desa adat menuai masalah dan dilaporkan ke aparat penegak hukum (APH) dan auditor menyatakan, bahwa semua kerugian LPD itu sebagai kerugian keuangan negara lantaran dana (donasi) Pemda sebesar Rp 2 juta hingga Rp 5 juta itu dianggap sebagai dana penyertaan modal Pemda di LPD yang bersumber dari APBD.

Yang mana hal tersebut dijadikan dasar atau pintu masuk menjadikan masalah penyimpangan dana di LPD sebagai ranah tindak pidana korupsi (tipikor). Sehingga, bermiliar-miliar uang aset LPD milik masyarakat desa adat yang saat ini mencapai sekitar Rp 23 triliun ini terancam menjadi milik negara.

Kondisi ini membuat banyak pihak menyayangkan pihak auditor yang diduga tidak paham dan bermain ‘sulap’ dalam memberikan laporan kerugian LPD bermasalah yang ditangani APH sebagai kerugian keuangan negara, karena faktanya Pemda tidak pernah memberikan dana hingga miliaran kepada LPD.

BACA JUGA:  Pulihnya Pariwisata Bali Mampu Gerakkan Rantai Pasok Nasional

Menteri Keuangan Bisa Kaget Ada Kas Negara Masuk dari Kerugian LPD

Terkait kondisi ini, ahli akuntansi dan Guru Besar Universitas Udayana (Unud) Prof Wayan Ramantha menyatakan, secara ilmu akuntansi dan keuangan tidak ada penyertaan modal pemerintah dalam LPD. Ia menegaskan, yang ada adalah donasi dari pemerintah pada saat pendirian.

Namanya donasi, sifatnya tidak mengikat dan jelas bukan penyertaan modal seperti penyertaan modal Pemda di perusahaan-perusahan, khususnya perusahaan daerah seperti bank BPD dan perusahaan air minum daerah.

Pernyataan tersebut disampaikan saat dihubungi melalui sambungan telepon di Denpasar, Rabu (09/03/2022).

“Paling penting harus dipahami oleh semua pihak, apakah mereka bidang hukum, bidang akuntansi, atau bidang pemerintahan dan lain sebagainya, adalah kalau itu kerugian LPD akibat oknum LPD yang misalnya salah urus atau dia melakukan penggelapan keuangan LPD, kalau toh dia diadili, kemudian dihukum untuk mengembalikan, ya dikembalikan ke LPD dong, bukan ke kas negara,” paparnya.

“Ini Menteri Keuangan Sri Mulyani bisa kaget-kaget dia. Lho ini kok ada kas negara masuk dari kerugian LPD,” sindirnya.

Coba dibayangkan lanjut Prof Ramantha, LPD dirintis dari nol oleh desa adat ketika sekarang bermiliar-miliar ditetapkan (dimasukan) jadi kas negara, apa nggak bangkrut LPD itu jadinya. Dari sisi aturan, itu sesuai dengan Perda No 3 tahun 2017 tentang LPD.

Yang mana, dalam Perda tersebut Pasal 9 Ayat 3 menjelaskan Modal Inti LPD terdiri atas a) Modal Disetor, b) Modal Donasi, c) Modal Cadangan dan d) Laba/Rugi Tahun Berjalan. Mengacu pada dasar hukum ini, jelas tidak ada penyertaan modal Pemerintah dalam Modal Inti LPD. Istilah modal donasi sama dengan hibah yang merupakan sumbangan Pemda Provinsi Bali hanya pada saat pendirian LPD.

BACA JUGA:  Komitmen Mengabdi Memajukan Seni Tradisi Bali, Bentara Budaya Bali Raih Kerthi Bhuwana Sandhi Nugraha 2019

“Lalu contoh misalnya pemerintah memberikan donasi untuk pembangunan sebuah wantilan, apakah wantilan itu kemudian menjadi milik negara atau aset pemerintah ? Kan tidak ! Itu contoh yang paling sederhana. Jadi kalau kemudian mengatakan kerugian LPD itu adalah kerugian keuangan negara, itu salah besar,” tegasnya.

Inspektorat Hanya Diminta Membantu

Sementara Wayan Sugiada selaku Inspektorat Provinsi Bali menjelaskan, bahwa tidak ada kewajiban Inspektorat memeriksa (LPD). Karena di dalam program pengawasannya itu tidak berwenang jadi tidak muncul di situ (pengawasan dan pemeriksaan LPD). Karena itu otonomi desa adat. Makanya ke depan disarankan bendesa adat agar meningkatkan pengawasannya lantaran itu adalah uang mereka sendiri.

“Kalau yang diaudit oleh Inspektorat, seperti yang di Klungkung itu, itu karena diminta bantuan oleh aparat penegak hukum untuk menghitung kerugian, bukan memeriksa. Jadi diminta bantu menghitung, berapa kerugian yang ada agar tahu berapa yang harus diganti, itu saja,” terangnya

Disinggung terkait masalah kerugian negara, pihaknya mengaku tidak dalam ranah menjelaskan itu. Biar tidak salah nanti. “Saya hanya menjelaskan ranah Inspektorat hanya menghitung bukan memeriksa. Karena sah-sah saja, inspektorat diminta bantu. Dan itu di Kabupaten. Kami sendiri di Provinsi tidak pernah diminta,” pungkas Wayan Sugiada.

Senada dengan keadaan tersebut, I Gusti Ngurah Supanji selaku Inspektorat Kabupaten Tabanan juga membantah bahwa tidak ada kewajiban dalam pengawasan LPD. Selama ini pihaknya juga sama, hanya diminta bantuannya oleh APH sebatas menghitung berapa kerugian LPD yang ada.

Jangan Sampai Terjadi Penyerobotan Wewenang

Sebelumnya, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) I Dewa Gede Palguna mengingatkan, agar tidak terjadi penyerobotan wewenang dalam penanganan masalah LPD di Bali. Ia menegaskan, LPD tunduk pada hukum adat, maka desa adat dengan hukum adatnya mempunyai kewenangan mengatur dan menyelesaikan permasalahan LPD.

BACA JUGA:  MASATA BALI Salurkan Bantuan Kemenparekraf di Desa Taro Tegallalang

Kewenangan desa adat terhadap LPD menurutnya, suatu keniscayaan dijamin konstitusi yang tidak boleh dicampuri negara sekalipun. Pernyataan tersebut disampaikan melalui rekaman videonya dalam sebuah acara diskusi yang digelar insan media di Denpasar Bali, Kamis (17/02/2022) pekan lalu.

“Jadi ini penting saya sampaikan, karena jangan sampai terjadi yang namanya penyerobotan kewenangan dalam masalah LPD ini,” tegasnya.

Dewa Palguna menjelaskan, bahwa desa adat memiliki hak konstitusional dan kita tidak dapat memungkiri sejarah. Baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD 1945 kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya, diakui oleh negara. Sepanjang desa adat masih hidup, tidak bertentangan dengan prinsip negara dan perkembangan masyarakat.

Pengakuan negara terhadap LPD sebagai lembaga keuangan milik desa adat di Bali ini kemudian diatur di dalam undang-undang Lembaga Keuangan Mikro. Secara khusus di dalam UU itu dinyatakan bahwa LPD (Bali), Lumbung Pitih Nagari (Sumatera Barat) dan lembaga perkreditan lainnya yang dibentuk berdasarkan hukum adat, kedudukannya dikecualikan di dalam undang-undang.

Pengecualian tersebut jelas diatur dalam pasal 39 ayat 3 dalam undang-undang lembaga keuangan mikro. Ini artinya, LPD dan lembaga perkreditan adat yang dibentuk berdasarkan hukum adat, tidak tunduk pada undang-undang negara melainkan tunduk pada hukum adatnya masing-masing.

“Salah satu kesatuan hukum adat itu di Bali yang namanya desa adat. Dengan demikian desa adat lah dengan hukum adat di Bali yang mempunyai kewenangan mengatur LPD dan LPD tunduk pada hukum adat Bali dan itu merupakan suatu keniscayaan yang dijamin oleh konstitusi yang tidak boleh dicampuri oleh negara sekalipun,” tandas Dewa Palguna. (Tim)

Post ADS 1