Jika rohana berarti mendaki atau memanjat, maka ropana berarti menanam. Saya tertegun sendiri membandingkan dua kata ini. Begitu dekatnya selisih kedua kata ini: ‘roHana‘ dan ‘roPana‘.
Apa yang kita tanam, itulah akan kita panjat. Jika kita menanam pohon kita akan ‘memanjat’ pokok hidup yang tak lain ‘udara bersih’ penyuci jiwa kita.
Ini mengingatkan dua buah pokok ajaran purba India dan Jawa Kuna: Vriksha-ropana(menanam pohon) dan Svarga-rohana-parva (bagian dari kisah Mahabarata yang salah satunya berkisah tentang perjalanan roh menuju Suarga atau svarga).
Pokok pertama adalah Vriksha-ropana=menanam pohon. Ini diwujudkan dalam sebuah festival atau perayaan tahunan ketika masuk musim hujan dikenal sebagai ‘Vriksha-ropana-utsava’ (Festival Menanam Pohon). Bulir hujan yang jatuh di bumi disambut dengan pokok pohon yang siap menjadi bagian dari tanah (pertiwi) dan daun-dahan-rantingnya menjadi bagian dari langit (akasa). Pohon beribu pertiwi, berbapak akasa. Yang menyusui pohon pertama adalah hujan di hari-hari pertama mulai musim penghujan.
Festival tersebut tidak secara formal dilestarikan di Bali, namun kalender Bali atau titimangsa kita dengan TEGAS mengingatkan masa tanam dan masa hujan yang mesti dijadikan pijakan dalam pertanian dan kehidupan. Musim penghujan menjadi panduan dalam kehidupan, tidak lain karena hujan adalah ‘bensin’ atau energi untuk menumbuhkan pokok kecil dan ranting menjadi cabang-cabang yang subur dan bisa melindungi dan memberi kita hidup dan penghidupan – tanem tuwuh satmaka pangupa jiwa.
Pokok kedua adalah Svarga-rohana-parva=perjalanan roh menuju svarga. Ini diwujudkan dalam kisah Sang Yudistira (Sang Hyang Dharma) yang dalam perjalanannya ditemani anjing – lambang makhluk yang tidak pernah tersesat. Anjing dikenal sebagai makhluk yang berdedikasi dan punya batas kesetiaan yang tidak tersaingi oleh makhluk lain, bahkan konon ‘mengalahkan’ seorang manusia setia.
Perjalanan (rohana) menjadi simbol pendakian batin. Ini tidak sama dengan ungkapan klise: Apa yang ditanam, itu yang dipetik. Tapi: Apa yang ditanam, itulah yang dipanjat. Jika secara harfiah menanam pokok pohon atau benih tumbuhan, maka ia akan membiak jadi sesuatu yang menindungi, memberi makan, memberi asupan oksigen, dan memberi kesegaran padangan.
Hubungan antara pokok pertama (ropana/memanam pohon) dan pokok kedua(rohana/memanjat surga) ada dalam sebuah ungkapan klasik Sanskrit yang menyebutkan: ‘Jika kita menanam 3 pokok pohon Nimba (Intaran-Mimba-Neem) jalan surga sudah terbuka’.
Saya merasa ini bisa jadi sebuah ‘metafora’, atau sebuah ‘bahasa berkulit’ yang harus dikupas tuntas, dan tidak ditelan percuma: Ada janji jika kita menanam sesuatu yang berguna akan mendapat pahala secara kosmik. Pahalanya tidak hanya berupa pahala (buah) yang bisa dipetik dengan tangan dan jari, namun pahala yang dinikmati oleh jiwa dan batin kita, baik sekarang ketika jiwa masih dikandung badan ataupun ketika lepas dari badan. ‘Pahala pohon kebajikan adalah nikmat batin dan siraman jiwa’, demikian senantiasa disurat dalam naskah-naskah klasik.
Kuliah dharma tentang hubungan surga dan penanam pohon mungkin saya simpan sampai disini. Saya hanya tertegun: Sekalipun kita tidak punya ‘agenda masuk surga’, atau ingin mengaitkan relasi surga dan penanaman pohon, dengan hanya menggunakan alat pendengaran (telinga), suara kata ‘menanam’ (ropana) dan ‘memanjat’ (rohana) memang berhimpitan. Seperti bunga dan harumnya. Seperti angin dan desirnya.
Tegun pada kata rohana dan ropana ini membuat saya bermimpi: Suatu hari ada anak-anak bergerombol menanam pohon (vriksha-ropana) diiringi orang-orang tua penembang menembangkan kakawin, Kakawin Swargarohanaparwa, tembang pendakian surga. Mungkin itulah yang dalam mimpi saya disebut ritual dan perayaan menyambut hujan dengan menanam pokok-pokok pohon – ‘vriksha-ropana-utsava’. (Red/LB/SugiLanus)