DENPASAR, lintasbali.com – Sidang lanjutan perkara dugaan pemalsuan silsilah Jero Kepisah, Banjar Kepisah, Desa Pedungan, Denpasar Selatan kembali digelar di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa, 6 Mei 2025. Sidang yang menjadi sorotan publik ini mengalami keterlambatan hingga lima jam dari jadwal semula.
Persidangan yang seharusnya dimulai pukul 10.00 WITA baru berjalan sekitar pukul 15.00 WITA. Keterlambatan ini diduga terjadi karena belum hadirnya saksi ahli yang akan dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Namun, menurut tim kuasa hukum ahli waris Jero Kepisah, saksi ahli tersebut telah berada di lokasi sejak pukul 09.00 WITA dan bahkan telah berkomunikasi dengan mereka.
Ketua Majelis Hakim, Heriyanti, menyampaikan kekecewaannya terhadap keterlambatan tersebut. “Kami harap persidangan ini berjalan tepat waktu dan semua pihak disiplin. Jika belum siap menghadirkan saksi, sebaiknya disampaikan secara terbuka agar kami bisa menjadwalkan perkara lain,” ujarnya di ruang sidang.
Nada serupa juga disampaikan oleh anggota majelis hakim, Ida Bagus Bamadewa Patiputra. Ia mengingatkan bahwa semua pihak harus menghargai waktu dan menjaga efisiensi proses peradilan. “Kami bukan dewa, kami manusia biasa yang butuh waktu untuk makan dan memproses perkara lainnya. Keterlambatan seperti ini sangat merugikan,” ujarnya dengan tegas.
Tim kuasa hukum Anak Agung Ngurah Oka selaku ahli waris Jero Kepisah, yang terdiri dari Kadek Duarsa, SH, CLA dan Made Somya Putra, SH, menyampaikan keberatannya kepada majelis hakim. Mereka menilai JPU tidak siap menjalankan sidang dan menyebut bahwa keterlambatan hanya merupakan taktik untuk melengkapi bukti tambahan dari penyidik.
“Kami merasa dipermainkan. Ini menyangkut hak asasi klien kami. Proses peradilan seharusnya dilakukan secara transparan dan jujur,” ujar Kadek Duarsa di hadapan majelis hakim.
Senada, Made Somya menilai keterlambatan tersebut memperlihatkan ketidaksiapan JPU. Ia mempertanyakan keabsahan bukti-bukti surat yang disebut berasal dari penyidik, bukan dari JPU sebagaimana mestinya dalam proses peradilan yang telah memasuki tahap penuntutan.
“Seharusnya JPU yang menyusun dan menyampaikan bukti, bukan penyidik. Jika masih seperti ini, seakan-akan proses P-21 belum benar-benar tuntas,” kata Made.
Ia juga menambahkan bahwa bukti-bukti terkait kepemilikan lahan, seperti IPEDA dan SPPT sejak tahun 1977, justru menunjukkan bahwa objek tanah yang dipermasalahkan berkaitan dengan pihak lain, bukan dari keluarga yang diduga memalsukan silsilah.
Kuasa hukum berharap majelis hakim mencatat seluruh kejadian dalam persidangan ini sebagai bagian dari transparansi dan akuntabilitas proses hukum. (LB)