Destinasi News Pariwisata & Budaya Seputar Bali

TRI HITA KARANA – KONSEP KERAMAHAN PARIWISATA BALI

Bali dengan Tri Hita Karana yang ramah dari manusianya, ramah dengan lingkungannya, murah hati dari Sang Penciptanya, bagi seluruh umat manusia tidak pernah diragukan lagi. Masyarakat Bali siap menyambut dengan keramahtamahan tanpa harus ada embel-embel harus ramah dalam konteks agama.

Bali dikenal sebagai tujuan pariwisata nasional dan internasional. Bali sudah dikenal karena keramahtamahan masyarakatnya. “sudahlah, kalo belajar keramahtamahan belajar ke Bali saja, disana masyarakatnya murah senyum, sehingga semua orang merasa betah di Bali”, demikian disampaikan Yusuf Kalla pada sebuah seminar nasional asosiasi pariwisata nasional.

Pernyataan Wakil Presiden periode 2014-2019 ini sangat benar adanya. Masyarakat Bali senantiasa diajarkan murah senyum dan menyapa setiap insan manusia, entah di jalan, di pasar, di sawah, di Pura, dimana-mana saat kami berada, senyum dan ramah menjadi andalan masyarakat Bali.

Dalam membangun pariwisata berbasiskan Budaya Bali, masyarakat Bali telah hidup rukun dengan sesama umat beragama di Bali, khususnya Islam. Sejak Islam pertama kali masuk ke Bali yaitu pada jaman Kerajaan Gelgel di Klungkung, Rukun, secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang berarti tiang, dasar, dan sila.

Perspektif rukun menurut umat Hindu di Bali telah memberikan pengertian hidup bersama-sama, saling memiliki, saling asah asih dan asuh. Basudewa Kutumbakam – kita adalah bersaudara, dan Tat Twam Asi – aku adalah kamu, adalah ajaran yang memperkuat kehidupan rukun masyarakat Bali yang kemudian terciptanya keharmonisan dan keramahan di dalamnya.

Wisatawan berkunjung ke Bali, dari belahan manapun di dunia ini, justru ingin mendapatkan kedamaian dan merasakan keramahtamahannya. Bali dan penduduknya yang mayoritas Hindu dan juga yang bukan Hindu, karena dalam dunia pariwisata terdapat masyarakat berbagai agama adalah mayarakat yang ramah untuk siapa saja.

BACA JUGA:  IFBEC BALI PEDULI SESAMA

“Kepariwisataan Budaya Bali adalah kepariwisataan Bali yang berlandaskan kepada Kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana sebagai potensi utama, dimana kepariwisataan sebagai wahana aktualisasinya.

Hal tersebut akan mewujudkan hubungan timbal-balik yang dinamis antara kepariwisataan dan kebudayaan. Keduanya berkembang secara sinergis, harmonis dan berkelanjutan untuk dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, kelestarian budaya dan lingkungan” (Peraturan Daerah tentang Kepariwisataan Budaya Bali, Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1, ayat 14).

Sudah demikian jelas tentang aturan dan pelaksanaan kepariwisataan di Bali yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana, yaitu 3 (tiga) konsep terciptanya hubungan keharmonisan “keramahan” antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan alamnya, dan manusia dengan Sang Pencipta.

Adakah yang masih mempertanyakan terkait “keramahan” pariwisata di Bali? ternyata masih ada, yaitu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, periode 2019-2024, dengan pernyataannya melalui media bahwa akan menyulap daerah wisata Toba dan Bali untuk lebih ramah pada wisatawan muslim. Perlu dan layak kiranya untuk belajar memahami lagi dan turun langsung ke Bali untuk melihat apa yang terjadi tentang ramahnya manusia Bali dalam mewujudkan dunia pariwisata yang ramah terhadap manusia dan alamnya.

Menggoreng isu terkait konteks agama memang sangat riskan. Bali dengan masyarakatnya yang mayoritas pemeluk agama Hindu, sudah sedemikian teruji toleransi beragama berjalan dengan baik dan menerima hidup berdampingan dengan umat lainnya, akur dan damai selama ini.

Leluhur Bali menerima saudaranya yang tidak se-iman dengan sebutan “Nyama Jawa” bila seseorang berasal dari luar Bali, sekalipun berasal dari bukan Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, dsb. Demikian juga menyebut “Nyama Selam” bagi saudara yang beragam Islam, “Nyama Kristen” bagi umat Kristiani, dan sebagainya,

BACA JUGA:  DPD Demokrat Bali Serahkan Hadiah Lomba Sambut Dua Dekade Partai Demokrat

Ajaran leluhur Bali ini masih dipegang dengan baik oleh masyarakat Bali hingga kini. Tidakkah cukup ramah sebutan “Nyama” yang artinya “Saudara” bagi orang yang bukan orang Bali, bahkan bagi orang yang bukan umat Hindu Bali?

Mari kita bersama-sama hendaknya saling mempererat dan memperkuat hubungan sehingga segala sesuatunya bisa dikerjakan dan diraih dengan lebih mudah. Dalami dengan lebih seksama apa yang sudah ada dilapangan terkait keramahtamahan manusia Bali. Jangan sekali-sekali mempertentangkan, mempertanyakan, bahkan membuat pernyataan yang membuat hati damai masyarakat Bali, tergores sehingga menimbulkan luka dalam. Luka seperti ini tidak akan mudah disembuhkan, bekasnya tidak dengan mudah sirna.

Apa kemudian diluar kontek agama menjadi tidak ramah? Ramah adalah ranah prilaku manusia, apapun agamanya karena Tuhan mengajarkan umatnya untuk saling mengasihi, tidak terkotak-kotak oleh baju agama. Memisahkan karena agama menjadikan masyarakat Bali yang sudah ramah, dahinya kembali mengkerut dan bertanya, kenapa harus dengan umat muslim saja meningkatkan “keramahan”, apa dengan umat lain tidak perlu ramah? Bali tidak demikian, Bali terbuka dan sangat ramah dengan semua manusia dan sesama umat beragama.

Masyarakat Indonesia, mari datang dan berkunjung ke Bali, kami dengan senang hati dan ramah akan menyambutnya. Kami akan tunjukkan keramahtamahan yang tidak saja sekedar ramah karena berbau agama.

Ditulis oleh :

Ida Bagus Purwa Sidemen, S.Ag., M.Si

Direktur Eksekutif BPD PHRI Bali

Dosen UNHI Denpasar dan STPBI

Post ADS 1